fhirtho al-Kajanggy
Lebih Baik Tersesat dalam pencarianku tentang KEBENARAN, daripada hanyut dalam kebodohan
Kamis, 26 Februari 2015
Senin, 14 Januari 2013
Menjaga Keberlangsungan as-Sunnah dari Masa ke Masa (Sebuah Kajian Perbandingan History as-Sunnah antara Sunnih dan Syiah)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kondisi
hari ini adalah kondisi zaman yang begitu genting dengan berbagai masalah yang
dihadapi perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu semakin canggih, tekonology
yang semakin elit. Namun disisi lain kita tertinggal akan pengetahuan agama.
Dan bahkan ditinggalkan karena itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman,
parahnya lagi nanti masa tua baru belajar agama. Inilah ironi dunia hari ini.
Pengetahuan
agama secara umum saja tidak dipedulikan apalagi yang secara spesifik misalnya
hadis dan sunnah Nabi yang dari zaman ke zaman sedkit demi sedikit tak
terpedulikan lagi. Namun, hari ini Penulis mencoba menguraikan sedikit
pengetahuan seperti apa dan bagaimana prosesi keberlangsungan dan kepenjagaan
hadis dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sampai hari ini.
Berbicara
mengenai hadis maupun sunnah Nabi, tentunya kita tak lepas dari segi history
dan perjalanan itu sendiri. Misalnya: hadis Nabi sampai hari ini kita ketahui
bersama bahwa ada pengkategorian-pengkategorian akan hal itu. Apalagi berbicara
pada aliran-aliran atau golongan-golongan yang ada dalam Islam itu sendiri.
Kita ambil saja Ahlusunnah dan Syi’ah tentang tanggapannya terhadap hadis Nabi
apakah diantara dua aliran besar ini mengkultuskan atau menafikannya.
Secara
history, bagaimana akan prosesi penulisan hadis Nabi. Dalam hal ini para ulama
dan cendekia berbeda pendapat dan bahkan terjadi banyak kesimpang siurang
mengenai penulisannya. Jadi tak salah pabila hari ini kita banyak mendapati
hadis-hadis yang kontradiksi dengan akal dan al-Quran atau di istilahkan dengan
hadis dhoif (palsu).
Tokoh-tokoh
yang hadir sebagai penulis, periwayat, sejarahwan, kritikus, dan peneliti.
Sungguh hasil yang sangat menakjubkan sehingga ruang-ruang dialektika begitu
banyak orank tertarik akan hala tersebut. Apalagi hadirnya orang-orang yang
ingkar akan sunnah-sunnah Nabi yang terkadang terjadi pergeseran pemaknaan akan
hadis-hadis Nabi. Ya, itulah fenomena hadis yang hadir hari ini. Dkiritik dan
dibudayakan.
Mungkin
gambaran itu yang akan mengacu penulis untuk sedikit memasuki ruang
perbandingan dalam pembahasan kali ini. Yakni dua aliran besar dalam Islam
yakni Ahlusunnah dan syi’ah melihat hadis-hadis Rasul. Tanpa ada pendikteaan
akan sebuah aliran dan barah pembaca yang memberikan kesimpuan tersendiri.
Mengapa kemudianpenulis lebih cendrung kepada hal tersebut karena melihat
kondisi Islam di zaman kekiniaan ada yang aneh disisi lain atau dalam artian
sebgaian kaum muslimin mencoba membuka ruang pluralisme disisi lain
sebagianpula dengan enteng dan mudah mengkafirkan diluar pemahamannya bukan
hanya yang mereka kafirkan nonmuslim tapi dalam musli sendiri. Sehingga peran
dingin dan saudara kerap kli terjadi. Dan makna Islam rahmatan lil alamin
mengalami pula pergeseran makna. Pernahkah kita sedikit merenung apa yang
menjadi penghambat kemajuan Islam dan kemundurannya itu yang mendasari
sebenarnya itu apa. Inilah faktayang hari ini kita dapatkan. Haruskah kita
biarkan dan hanyamelihat dengan berdiam diri, tentu bagi orang-orang yang
berpikir tidak seperti itu.
B.
Rumusan
Masalah
Melirik
sedikit latar belakang diatas, maka ada beberapa poin yang kemudian menjadi
rujukan dalam membuat sebuah rumusan masalah. Agar apa yang menjadi bahasan
kedepannya bisa terarah. Adapun rumusan-ruusan masalahnya itu diantaranya
sebagai beriku :
1.
Bagaimana
kedudukan Hadis Nabi dalam pandangan Ahlusunnah dan syiah?
2.
Sejak
kapan prosesi (history) penulisan Hadis Nabi itu berlangsung?
3.
Kritik
Sanad dan Matan akan hadis
Dalam
penulisan malakah ini, penulis mencoba menarik sebuah kemanfaatan dari apa yang
menjadi bahasan pada kesepatan ini, diantaranya :
1.
Memberikan
gambaran akan prosesi keberlangsungan dan penjagaan akan hadis dan sunnah Nabi.
2.
Adanya
titik terang antara Ahlusunnah dan syiah, dalam rangka mengurangi pengkafiran
dan pelaknakan dimana-mana. Sehingga sikap tolerir dan perbedaan itu
terterapakan dalam konteks kehidupan dimasa kekinian
3.
Memberdayakan,
dan meningkatkan akan pentingnya mengkaji pelajaran-pelajaran agama. Karena
itulah jalan keselamatan menuju kepadakehariban Ilahi.
4.
Mengurangi
tingkat kriminalitas dan peperangan kecil antara kaum muslim dan nonmuslim
5.
Menghargai
dan lapang dada dalam melihat sebuah permaslahan. Bertindak tanpa anarkisme,
dan pertumpahan darah yang sia-sia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
Hadis dalam Pandangan Ahlusunnah dan Syi’ah
Pengawalan
akan keberlangsungan hadis Nabi maupun sunnahnya tentu tak lepas dari bagiamana
seseorang atau kelompok itu dalam melihat dan memposisikan akan sesuatu itu
pasti memiliki sebuah alasan yang esensial. Pertanyaan yang kemudian hadir
dalam hal tersebut, bagaiamana kedudukan hadis dalam aliran seperti Ahlusunnah
dan syiah, itu seperti apa?. Dari pertanyaan tersbut, penulis mencoba
memberikan uraian akan hal tersebut.
1.
Kedudukan
Hadis dikalangan ulama Ahlussunnah
Selain
Rasul SAW, hadis dalam pandangan ulama Islam, khususnya para ulama Ahlusunnah,
mendapatkan posisi yang sngat tinggi. Berikut ini adalah beberapa komentar dari
para iman empat mazhab[1] :
1).Malik
bin Anas, imam Mazhab Malikiya, berkata, “Hadis tak lain adalah (kandungan)
agama itu sendiri. Perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama itu. Aku
dibawah tiang-tiang masjid ini (Masjid Nabawi), telah bertemu dengan tujuh
puluh orang yang semuanya mengatakan “qala rasulullah”, namun aku tidak
mengambil hadis dari satu pundari mereka”[2].
2).Dinukil
dari Syafi’I, imam Mazhab Syafi’iyyah, bahwa ia berkata, “Tak satupun sunnah
Rasulullah SAW, yang bertentangan dengan al-Quran.” Menurut imam kelompok
Syafi’iyyah ini, hadis dan para muhaddis adalah benteng yang kokoh dalam
menghadapi serangan pemikiran kelompok Zanadiqah. Ia berkeyakinan, “JIka tidak
ada ahli qalam (orang-orang yang mengabadikan ucapan-ucapan Rasulullah saw),
kaum Zanidiqah sudah berkhotbah di atas mimbar-mimbar,” Juga dinukil bhwa ia pernah
berkata, “ Ketika aku Berjumpa dengan seorang perawi hadis, sepertinya aku
telah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah saw.” Syafi’I juga
berkeyakinan bahwa dengan adanya hadis dan riwayat dari Nabi saw, tidak ada
jalan untuk menggunakan rakyu dan kias. Oleh sebab itu, dalam kitab al-Umm,
ia menulis: “Setiap pernyataan yang bertentangan dengan sunnah dan perintah
Nabi saw, maka pernyataan itu akan gugur dan tak dapat digunakan.
3).tentang
Ahmad bin Hambal, Baihaqi memberikan pernyataan: setiap kali dinyatakan tentang
suatu masalah padanya, ia selalu berkata, “Apakah dengan adanya (kalam)
Rasulullah saw, masih ada di tempat bagi pendapat dan pandangan orang lain?!”
Oleh sebab ini, ia tidak mau menerima pendapat fukahadan berkeyakinan, “Selain
orang yang hatinya sakit dan rusak, maka tidak ada orang yang mempelajari
kitab-kitab ulama rakyu dan kias.” Putra alim ini yang bermana Abdullah bin
Ahmad Bin Hanbal berkata “Aku tak pernah bertnanya kepada Ayahku, apabila
seseorang beradadi sebuah kota yang hanya ditinggali oleh dua orang, salah
satunya adalah seorang muhaddis yang tidak pandai dalam membedakan antara hadis
yang saqim dan shahih, yang stunya lagi adalah seorang yang fakih yang
memberikan fatwa berdasarkan pendapatnya sendiri, kepada siapakah ia harus
bertanya tentang masalah-masalah agama antara dua orang itu?” Ayahku menjawab,
“(Biarlah) ia bertanya kepada Muhaddis dan jangan merujuk kepada ahli rakyu.”
Perlu dicatat, Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama beraliran Akhbari, namun
ia berkeyakinan bahwa sunnah tidak dominan atas al-Quran, tetapi sunnah
berkedudukan sebagai fenafsir dan penerangan al-Quran.
4).Sebagaimana
yang telah dimaklumi, di antara para empat mazhab, Abu Hanifah yang mengikuti
rakyu dan kias, mengeluarkan fatwa-fatwanya berdasarkan itu. Walaupun begitu
adanya, Jamaluddin Qasimi dalam kitabnya telah menukil tentang perhatian Abu
Hanfiah dalam mengikuti sunnah. Diantaranya, ia menulis, “Abu Hanifah berkata, “Berhati-hatilah
kalian dalam berkomentar tentang agama dengan pendapat diri sendiri. Kalian
harus senantiasa mengikuti sunnah. Karena siapa pun yang keluar dari jalan
sunnah, maka ia pasti sesat dan menyeleweng.” Di tempat lain, ia menukil ucapan
Abu Hanifah yang berkata, “Jika tidak ada sunnah, tak satupun dari kita yng
dapat memahami al-Quran.
2.
Kedudukan
Hadis dalam Riwayat Para Imam Maksum
Dalam
riwayat para Imam Syi’ah, hadis memiliki posisi yang sangat tinggi dan mulia.
Dalam riwayat-riwayat tersebut, para imam juga menegaskan peran hadis dalam
menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Mereka berpesan kepada para
pengikutnya untuk memahami dengan benar maksud dan makna hadis, menghapal serta
menjaganya, juga meneruskannya untuk generasi-generasi yang akan datang. Dalam
hal ini, banyak bukti yang dapat diketengahkan, namun secara garis besar akan
disebutkan dalam beberapa riwayat saja.
1).
Imam Ja’far Shadiq meriwayatkan dari ayahnya yang berkata pdanya, “Wahai
putraku, nilaialah kedudukan setiap syi’ah dengan jumlah yang mereka simpan dan
pengetahuan mereka terhadap riwayat-riwayat itu karena pengetahuan tidak lain
adalah pengenalan dan pemahaman tentang riwyat-riwayat. Dengan memahami
riwayatlah, seorang mukmin dapat mencapai derajat-derajat iman yang paling
tinggi[3].
2).
Mengenai urgensi memahami hadis, Imam Ja’far Shadiq berkata, “Satu hadis yang
kamu pahami, lebih baik dari seribu hadis yang kamu riwayatkan (tanpa kamu
pahami)[4].
3).
Muawiyah bin Ammar berkata, “Kepada Abu Abdillah al-Shadiq as kukatakan, “Ada
seorang laki-laki yang berusaha keras dalam menyampaikan ucapan-ucapan kalian
(para maksum) dan mengikat hati (orang-orang syi’ah) dengan iman, di sampingnya
ada seorang abid yang tidak berdakwah seperti dia. Manakah diantara mereka
berdua yang lebih utama?” Beliau berkata, “Orang yang berusaha keras dalam
menyebarkan hadis kmi dan mengikat hati orang-orang syiah dengan iman, lebih
utama bahkan seribu hamba (abd)[5].
Beberapa
keterangan diatas adalah sekelumit bukti-bukti yang menujukkan kedudukan hadis
dan sunnah Rasul saw dalam literature dan sumber-sumber keislaman. Pelu
ditambahkan, kedudukan sunnah yang sperti inilah yang menyebabkan adanya
perhatian khusus sejak zaman Rasulullah saw dalam masalah menghapal,menjaga dan
menukil hadis untuk generasi-generasi mendatang.
B.
Prosesi
(Histrory) Penulisan Hadis-Hadis Nabi dari Masa ke Masa
Berkenan
dengan penukilan hadis secara lisan di masa Rasulullah saw dan periwayatannya
dari mereka yang mendengar langsung kepada yang tidak hadir, terdat banyk bukti
dlam kitab-kitab hadis, sekaligus menujukkan sikap setuju Rasulullah saw
ddengan bentuk penukilan hadis yang seperti ini. Sebagian bukti-bukti itu
adalah sebgai barikut.
1.
Kelompok
syi’ah dan sunnih meriwayatkan bahwa Rasulullah saw dalam rangka menyampaikan
khotbah di haji wada’ berkata : “ Semoga Allah membahagiakan orang yang
mendengar ucpanku lalu memahaminya, kemudian menyampaikannya kepaa yang belum
mendengarnya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu (hukum agama) namun ia
bukan fakih (ahli istinbath) dan betapa banyak para pembawa ilu (yang fakih)
yang meriwayakan(ilmunya) kepada orang yang lebih fakih dari dirnya[6]
2.
Thabrani
menukil dari Abi Qirshafah yang meriwayatkan dari Rasul saw, bahwa Beliau
berkata, “Sampaikanlah kepada orang lain yang kalian dengar dariku dan
janganlah kalian berucap kecuali yang benar. Barangsiapa yang berdusta padaku,
maka akan didirakn baginya rumah dineraka jahannam di mana ia akan tinggal di
sana[7].
Di samping riwayat ini, sudah menjadi kebiasaan Rasul saw untuk mengakhiri
setiap sabdanya dengan ucapan, “Hendaknya yang hadir(dan mendengar)
menyampaikannya kepada yang tidak hadir”[8].
Beliau senantisa menugaskan orang yang mendengar untuk menyampaikan kepada yang
tidak mendengar. Atau menurut beberapa riwayat lain, Beliau pernah berucap
dengan redaksi sebagai berikut “Sampaikanlah apa yang dariku dan kalian tidak
dilrang untuk melakukannya.”[9]
Dengan penegasan ini berarti Beliau telah mengeluarkan izin bagi siapapun untuk
menyampaikan sabdanya. Beliau hanya mengharamkan dan melarang siapapun yang
berdusta padanya.
Sebagian shabat Rasul saw, sepanjang kehidupan Beliau, telah
membuat catatan-catatan seputar sabda-sabda beliau. Pekerjaan ini ada yang
memang merupakan perintah langsung dari Rasulullah saw dan ada juga yang
berasal dari inisiatif para sahabat itu sendiri[10].
Mengenai hal ini, terdapat beberapa bukti secara ilmiah yang menunjukkan bahwa
beliau setuju dengan penulisan dan pembukuan hadis. Berikut ini adalah beberapa
dianataranya :
1.
Rasul
saw selalu mengabadikan berbagai macam perjanjian dengan kabilah-kabilah Arab
dalam bentuk dokumen-dokumen tertulis. Bahkan sebagaian juru tulis beliau,
hanya bertugas untuk mencatat perjanjian-perjanjian. Sebagaiannya telah
termaktub dalam buku-buku sirah. Sebagai contoh dari perjanjian Madinah, telah
dibuat sebuah perjanjian antara Mujahirin, Ansar dan orang-orang Yahudi yang tinggal
di Madinah. Dalam perjanjian itu telah dijelaskan hak-hak dari masing-masing
kelompok. Perjanjian ini beruapa sebuah dekumen tertulis. Mereka yang menerima
butir-butir perjanjian itu dikenal dengan sebutan Ahlu Hadzhish Shahifah[11].
2.
Dintara
bukti-bukti yang paling orisinal tentang penulisan hadis di masa hayat asul saw
adalah protes yang dilakukan oleh para pemuka Quraisy terhadap Abdullah bin Amr
bin Ash dalam masalah penulisan hadis. Kejadian protes ini telah dimuat dalam
kumpulan-kumpulan hadis Ahlusunnah, seperti Sunan Darimi (kitab hadis tertua
Ahlussunnah), dinukil dari ucapan Abdullah, “Apa yang aku dengar dari
Rasulullah saw, selalu aku tulis agar dapat kuingt. Namun orang-orang Quraisy
mencegahku dan berkata, “ENgkau selalu menulis apapun yang kau dengar (dari
Rasulullah saw), padahal Dia adalah manusia yan juaga berkata-kata, baik dalam
keadaan rela (suka) maupun marah.” Lalu aku berhenti menulis dan kubcarakan hal
ini kepada Rasul saw . kemudian Beliau berkata padaku, “Teruslah menulis! Demi
Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman-NYA, tidak ada yang keluar dari
mulutku selain kebenaran”[12].
Dari beberapa bukti-bukti sejarah bagaiman Rasul menyetujui akan
penukilan, penulsan serta pembukuan hadis yang berlaku di masanya. Kemudian kit
akan melanjutkan bahsan ini bagaimana prosesi keberlangungan dimasa khalifah
yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan. Gambaran akan hal itu
sedikit akan diurai dalam beberapa poin :
a.
Masa
Khalifah Abu Bakar
Dzahabi menukil
dari Marasil Ibn Abi Malikah, bahwa pasca wafatnya Rasul saw, Abu Bakar
mengumpulkan masyarakt dan berkata, “Kalian meriwayatkan hadis dari Rasulullah
saw, sementara kalian berselisih tentang hadis-hadis yang kalian riwayatkan.
Mereka yang akan datang setelah kalaian, tentu akan semakin banyak perselisihan
yang terjadi diantara mereka tentang hadis-hadis tersebut. Karena itu, jangan
kalian menukil hadis dari Rasulullah saw. Apabila seseorang betanya kepada
kalian tentang sesuatu, katakana kepada mereka, al-Quran ditengah-tengah kita,
halalkanlah halalnya dan haramkan haramnya. Kemudian dalam kitab lain yakni
Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Ibn Qutaibah Dainuri menegaskan, “Kebanyakan
shabat-sahabat besar, khususnya mereka yang dekat dengan Rasulullah saw,
termasuk Abu Bakar, Abu Ubaidahdan Abbas bin Muthalib, jarang sekali
meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw”. Perlu diketahui ulama Ahlusunnah,
setelah memaparkan fakta-fakta tersebut, berusaha memberikan alasan aatas
inisiatif Abu Bakar, diantaranya, Dzahabi yang menulis, “orang pertama yang
paling berhati-hati (ber-ihtiyath) dalam menerima riwayat adalah Abu Bakar”[13].
Dalam hal ini, Mahmud Abu Rayyah menulis, “Abu Bakar tidak mau menerima hadis
dari siapapu keculi ada saksi yang membenarkan hadis tersebut. Dia dengan
caranya yang seperti itu, telah meletakkan syarat shahih al-isnad atasv dapat
diterimanya sebuah hadis[14].
Akan tetapi, jelas terlihat bahwa berbagai alasan ini bertengan dengan
bukti-bukti yang telah diutrakan oleh Dzahabi yang menunjukkan pelarangan
penukilan hadis secara umum dan penyelapan atau pembakaran kumpulan-kumpulan
hadis.
b.
Umar
bin Khattab
Ibn Qutaibah
Dainuri menulis, “Umar bersikap keras terhadap orang yang banyak menukil hadis
atau tidak memiliki saksi atas hadis yang dibawakannya. Ia memerintahkan para
sahabat untuk sedikit menukil hadis, agar masyarakat luas tidak gampang
eriwayatkannya, materi-materi yang tidak sahih tidak tersusupkan dalam riwayat
dan tadlis serta dusta tidak dapat dilakukan oleh orang munafik, fajir dan a’rabi
(orang-orang awam Arab)”[15]. Adapun
berkenaan dengan pencegahan Umar atas penukilan dan penulisan, terdapat
beberapa bukti. Diantarnya: (1). Abdurahman bin Auf dalam sebuah hadis berkata,
“Umar tidak meninggal dunia kecuali telah menghadirkan sahabat-sahabat Rasul
saw yang tinggal di berbagai kawasan seperti Abdullah bin Hudzaifah, Abu Darda,
Abu Dzar dan Uqbah bin Amir, lalu berkata kepada mereka, “Mengapa kalian
menukil dan membawakan hadis ke berbagai kota?” Mereka menjawab, “Apakah engkau
melarang kami untuk menukil hadis?” Umar berkata, “Tidak, namun tinggallah
kalian disisku dan jangan berpisah dariku selama aku masih hidup karena kami
mengetahui mana hadis yang kami terima dan mana yang tidak”. Mereka pun tinggal
di Madinah hingga wafatnya Umar”[16].
(2).Setelah menyebutkan sanad, Dzahabi menulis: “Umar telah memenjarakan tiga
orang sahabat di Madinah, yaitu Ibn Ma’sud, Abu Darda dan Abu Mas’ud Anshari
kemudian berkata kepada merek, “Kalian terlalu banyak menukil dan meriwayatkan
hadis Nabi saw,”[17].
Mereka tetap terpenjarakan hingga Utsman membebaskan mereka.[18]
Dalam hal ini, Ibn Katsir menulis: “Masalah tentang Umar ini sangatlah
masyhur.” Di tempat lain Ibn Katsir berucap, “Umar sering berkata, “Kurngilah
penukilan hadis kecuali dalam hukum-hukum amaliah.”[19].
c.
Utsman
bin Affan
Politik larangan
dan penulisan hadis seperti yang telah dikukuhkan di masa Khalifah Umar
(kedua), juga berlanjut pada masa khalifah Utsman. Dalam hal ini juga terdapat
beberapa bukti diantaranya : (1). Ibn Saad dan Ibn Katsir meriwaytakan dari
Mahmud bin Labid, bahwa ia berkata, “Aku pernah mendengar Utsman mengumumkan di
atas mimbar: “siapapun tidak diizinkan untuk meriwayatkan hadis kecuali yang
sudah didengar di zaman Au Bakar dan Umar.” Kemudian ia berate, “Tidak ada
sesuatu yang mencegahku untuk menukil hadis Nabi sw, melainkan sesuatu yang
telah aku dengar dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata, “Siapa saja yang
menisbahkan sebuah ucapan padaku yang aku tidak pernah mengatakannya, maka
tempatnya adalah neraka.””[20].
(2). Darimi menukil dari para muhaddis Ahlusunnah: Abu Dzar, salah seorang
sahabat Nabi saw, sedang duduk dekat jumrah kedua (jumrah wustha) di kota Mina.
Banyak orang yang berkerumun melingkar dan bertanya padanya tentang
masalah-masalah agama. Kala itu, salah seorang para petugas khalifah datang menghampiri seraya berkata,
“Bukankah engkau telah dilarang untuk meriwayatkan hadis dan memberi fatwa?”
Abu Dzar berkata, “pakah engkau mengawasiku?” Kemudian Abu Dar sambil menunjuk
lehernya sendiri berkata, “Apabila engkau meletakkan pedang di sini, dan aku
masih berkesempatan untuk menyampaikan satu hadis dari sabda-sabda Rasulullah
saw, yang pernah aku dengar, sebeum tertebasnya batang leherku, tanpa sedikit
pun keraguan, akan kulakukan hal itu.”[21].
Inilah sedikit
uraian mengenai hadis dan kedudukannya dianatara ketiga khalifah ini. Dari
urain tersebut mungkin sedikit kita bisa memberikan kesimpulan tersendiri akan
hal tersebut.
Kemudian kita akan
mencoba menoreh bagaimana kondisi hadis di masa dua Dinasti besar dalam Isla
yakni Dinasti Bani Umayah dan Abbasyiah.
a.
Kondisi
Hadis pada masa Bani Umayyah
Pasca syahadah Ali bin Abi Thalib dan perdamaian Muawiyah dengan
Imam Hasan, bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan dan menjadi sebab terjadinya
banya perubahan dalam dunia Islam. Berkaitan dengan kondisi hadis,
perubahan-perubahan penting itu diantaranya: Khilafah Muawiyah saapi akhir abad
pertama Hijrah, Khilafah Umar bin Abdulasis smapi jatuhnya Bani Umayyah.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, pada periode iin selain tetap dibelakukannya
larangan penukilan dan penulisan hadis yang sudah menjadi tradisi sejak zaman khalifah pertama, terdapat dua
petka lain berkitan dengan hadis; Pertama, terdapat hadis palsu yang
pada masa ini mencapai titik puncaknya, dan yang lain adalah tombulnya fenomena
israiliyat dan cerita-certia karangan juga menampakkan diri pada periode ini.
Pada periode ini, secara berangsur para sahabat Nabi saw meninggal
dunia dan peranan mereka dalam penukilan hadis serta pemberian fatwa beralih ke
tangan para tabiin. kalangan tabiin sendiri sedkit banyak menghormati dan
mengikuti sikap-sikap yang telah diambl oleh para sahabt. Tentu, pengaruh yang
besar dalam masalah ini adalah penekanan Muawiyah untuk melanjutkan
kebijakan-kebijakan para khalifah sebelumnya. Berikut ada beberapa data sejarah
yang perlu untuk kita simak: (1). Raja’ bin Abi Salamah berkata, “Aku telah
mendapat berita bahwa Muawiyah berkata kepada masyarakt, “Riwayatkanlah
hadis-hadis yang kalian diperbolehkan untuk meriwaayatkannya pada zaman
Khalifah Umar. Ketahuilah, Umar telah melarang masyarakat untuk menukil hadis
Nabi saw.””[22];
(2). Diriwayatkan oleh Yashhabi: “Aku sering mendengsr Muawiyah berkata, “Aku
peringatkan kalian untuk tidak meriwayatkan hadis kecualai hadis-hadis yang
boleh diriwayatkan di masa Umar. Ketahuilah, Umar di jalan Allah, telah
melaranb masyarakat untuk menukil hadis.”[23] (3).
Ibnu Adi meriwayatkan dari Ismail bin Ubiadillah bahwa ia berkata, “Muawiyah
telah memperingatkan masyarakat untuk tidak menukil hadis kecualai hadis-hadis
yang diriwatkan di masa Umar dan telah mendaptakan pengukuhannya.”[24].
Produksi hadis-hadis palsu merupakan slaah satu sarana yang paling
besar pengaruhnya bagi Muawiyah untuk memperkokoh kekuasaan Bani Umayah dan
memerangi bani Hasyim. Para peneliti dan penulis sejarah menegaskan bahwa asal
mula pembuatan hadis-hadis palsu di dalam Islam adalah tahun 41 H dantidak jauh
daari syahadah Ali. Diantaranya , Subhi Shalih menulis, “Pemlasuan hadisdimalai
sejak 41 H dan itu terjadi di akhir masa kepemimpinan Khalifah Keempat (Ali bin
Abhi Thalib) ketika kaum muslim terjerat dalam pertikaian dan terbagi mnjadi
tiga kelompkok mayoritas (Ahlusunnah), Khawarij. Dan Syi’ah.”[25].
Subhi Shalih kemudian menambahkan: “Faktor yang paling dominan dalam terjadinya
fenomena pemalsuan hadis sejak pertama adalah untuk mengukuhkan kebenaran
mazhab-mazhab leh para pengikut dan pendukung masing-masing firkah.”[26].
Topik lain yang mungkin untuk dikaji pada periode ini adalah
masalah munclnya hadis-hadis Israiliyat yang masuk dalaam kancah hadis,
sejarah dan tafsir (umat Islam). Ibnu
Khaldum, sosilog Islam, berpendapat bahwa sebab menyebarnya Israiliyat aalah kebodohan masyarakat Arab dan dominasi
budaya Badui di tengah mereka.[27].
b.
Hadis
di masa Bani Abbasiyah
Pada tahun 12 H, dengan terbunuhnya khalifah terakhir Umwi,
silsilah Bani Umayah pun runtuh dan Abul Abbas Saffah menduduki kursi khilafah
sebagai khalifah pertma Bani Abbas.[28]
Masa khilafah Saffah berlangusng selama empat tahun. Masa itu berjaan untuk
menguatkan fondasi kekausaan Bani Abbas. Pasca meninggalnya Saffah, masyarakat
berbaiat kepada saudaranya yang bernama Abu Ja’far Mansyur. Dalam massa
inilaha, disamping memperkuat tatanam poltitk, ia juga memutuskan untuk
memperkuat dasar-dasar ideology Ahlusunnah. Dapat dikatakan, di sana terdapat
bayank factor yang menjadi sebab dukungan khalifah Abbasiyah untuk memperkuat
posisi ulama dan dilakukannya pembukuan serta penulisan berbgai ilmu. Sebagaian
faktor-faktor itu berkaitan dengan masalah-masalah internal Ahlusunnah dan
sebagaian lain berkaitan dengan situasi ddan kondisi dil uar mazhab ini.
Berkaitan dengan periode-periode penyusunan di kalangan ahlusunnah
, Mahmud Abu Rayyah menulis: “Dari penjelasan seputar upaya ulama pada abad
ke-2 dan ke-3 H yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis Rasululllah
saw di masa beliau dan masa para sahabat serta pembesar tabiin, belum tersusun.
Pada dasarnya penyusunan hadis belum terlaksana kecualai pada abad ke-2, tiu
pun pada akhir-akhir periode kekuasaan Bani Umayyah. Ketika penulisan dan
penyusunan dimulai pada muhaddis menggunakan metode penyusunan yang
berbeda-beda , sehingga gerakan penulisan , sejak dimulai sampai pada akhirnya,
telah melalui tahapan-tahapan diantaranya:
1.
Tahapan
Pertama: Pada tahapan ini, yang juga bisa disebut sebgai tahapan “kanak-kanak”
penyusunan, para muhaddis berusaha menulis apa yang ada dalam ingatan mereka.
2.
Tahapan
Kedua: Tahapan ini terjadi pada masa Bani Abbas, ketika parah ulama (dengan
mencontoh orang-orang Iran) melakukan pembenahan dan penerbitan tulisan-tulisan
mereka. Mereka memasukkan riwayat-riwayat yang (baru) mereka terima ke dalam
karya mereka.
3.
Tahapan
Ketiga: Pada periode ini, penyusunan telah menempuh arah baru dalam melanjutkan
perjalanannya. Yakni, para ulama mulai memishakan anatara hadis-hadis Nabi saw
dengan ucapan para sahabat dan tabiin, yang di dalamnya ucapan ara sahabat dan
tabiin ditulis terpisah dari ucpan-ucapan Rasul saw.
4.
Tahapan
Keempat: Periode ini adalah periode penyortiran dan pengoreksian atas
riwayat-riwayat. Para muhaddis enderung menyusun kitab-kitab yang menurut hemat
mereka shahih.
Itulah gambaran mengenai
rentetan penukilan dan penulsan hadis dari sisi Ahlusunnah. Sekarang kita coba
melihat prosesi (historical) hadis dalam kalangan Syi’ah atau juga sering
dipanggil dengan pecinta Ahlul-Bait.
Sesungguhnya
penulisan hadis Syiah sudah dimulai sejak zaman Nabi saw seperti halnya dalam
keilmuan Sunni. Akan tetapi selanjutnya
yang membuat beda adalah bahwa menurut Syiah, orang yang pertama yang melakukan
penulisan hadis adalah Imam Ali dengan imla (dikte) Rasullah saw. Tulisan itu
disebut dengan nama Shaifah.
Selain shaifah yang tampaknya hanya memuat hadis-hadis
tentang hukum diyat dan sedikit persoalan lainnya, Syiah juga berpandangan,
bahwa Rasulullah saw mendiktekan pada Imam Ali hadis-hadis lain yang disalin
dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar, yang dikenal dengan nama al-Jami’ah.
Imam Ja’far Shadiq menyebutkan bahwa al-Jami’ah adalah lembara-lembaran yang
mencakup semua persoalan halal dan haram.[29]
Para Imam memerintahkan para pengikutnya agar supaya mencatat
hadis-hadis yang didengar dari para Imam agar supaya warisan yang agung itu
tidak hilang. Maka ketika kesempatan itu terbuka, misalnya pada masa Imam
Ja’far Shadiq sejumlah sahabat dan para pengikut Ahlulbait mulai mengumpulkan hadis-hadis,
sehingga terhimpunlah pada masa Imam Ja’far Shadiq, apa yang kemudian dikenal
dengan nama Ushulul arba’ah Mi’ah atau empat ratus pokok agama.[30]
Syiah yakin bahwa hanya al-Quran yang sangat shahih, dan semua hadis yang
berkaitan dengan Nabi dan para Imam harus disesuaikan dengan al-Quran. Apabila
hadis-hadis tersebut terbukti bertentangan dengan al-Quran, logika dan fakta
sejarah maka hadis-hadis itu harus ditolak. Hal ini disebabkan karena kaum
Syiah tidak memberi otoritas mutlak kepada seorang ulama. Otoritas mutlak hanya
diberikan kepada al-Quran, Nabi dan para Imam. Apabila Nabi dan para Imam tidak
ada, semua hadis yang dinyatakan berasal dari mereka harus disesuaikan dengan
al-Quran, logika dan fakta sejarah.[31]
Dengan memerhatikan situasi politik, social, dan kultur Syi’ah pada
abad-abad pertama, maka periode klsaik terbagi beberapa fase berikut ini:
Fase Pertama:
Era Imam Ali bin Abi Thalib sampai masa Imam Sajjad, hasil telaah sejarah
politik syi’ah menujukkan bahwa pada abad pertama hijriah, ada emapt Imam yang
hidup di masa itu. Dan, selain masa khilafah singkat Imam Ali bi Abi Thalib,
tiga Imam yang lin praksis tersisih dari arena politik, bahkan dalam keadaan sangat terhimpit dan
tertekaan. Dengan kata lain, abad pertama Hijriah dari sejarah Syi’ah terdapat
dua fase yang benar-benar berbeda, yaiutu fasev prakhilafah Imam Ali, ketika
Ahlulabait Rasul saw benar-benar tersisih dari masalah kultur dan politik
muslimin. Perlu diketahui, sikap para Imam syi’ah dan pengikut mereka dalam
fase ini, tidak hanaya diamm berpangku tangan dan menerima siasat para khalifah
apa adanaya. Namun berdasrkan berbagai fakta sejarah, orang-orang syi’ah tidak
mau tunduk pada siasat para khalifah dalam larangan penukilan dan penulisan
hadis, juga tidak bertaqiyah dlam menyebutkan berbagai (riwayat) tentang
keutamaan Ahlulbait Rasul saw. Buktinya, adalah berbagai riwayat yang bercerita
tentnang perlawanan sebagian sahabat Imam Ali terhdap berbagaia kebijakan
penguasa juga perjuangann mereka dalam menukil dan mengungkapkan keutamaan-keutamaan
Ahlulbait. Di antaranya: Abdurahman
Darimi, salah seorang muhadis Ahlusunnah menulis: Abu Dzar, slah seorang
sahabat besar Rasulullah saw, sedang berada di Mina dan duduk di dekat Jumrah
Wustha. Ia di kelilingi oleh banyak orang yang berkerumun dan menanyakan
padanya masalah-masalah agama. Tiba-tiba salah seorang utusan khalifah datang
dan berkata kepadanya, “Bukankah engkau telah dilarang untuk menukil hadis dan
berfatwa?” Abu Dzar menjawab, “Apapkah engkau ditugaskan mengawasiku?” Kemudian
Abu Dza memberi isyarat yang menunjukkan bagian belakang lehernya seraya
berkata, “Apabila engakau meletakkan pedang pada bagian ini sementara itu aku
masih dapat menyampaikan salah satu dari sabda Rasul saw yanh telah kudengar
dari beliau, maka tanpa sedikitpun keraguan aku akan menyampaikannya”[32]
Fase Kedua: Masa kepemimpinan Imam
Baqir dan Imam Ja’far Shadiq, pada fase ini di mulai kira-kira sejak permulaan
kepemimpinan Imam kelima (al-Baqir)dan berakhir dengan syahadah Imam keenam
(al-Shadiq). Fase ini sangat berperan besar dalam terbentuknya hadis syi’ah. Karenanya, kita akan melihat situasi
dan kondisi masyarakat Islam pada masa ini sehingga denan mengetahui keadaan
mereka, kita dapat memahami faktor-faktor apa saja yng menjadikan kedua Imam
mulia ini akhirnya berhasil dan berkesempatan dalam mendirikan paham fikih
syi’ah. Sejak Imam Kelima hinggga syahadah Imam Keenam secara keseluruhan
terdapat sembila khalifah yang berkuasa dari BAni Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Fase Ketiga:
Masa kepemimpinan Imam Ketujuh hingga masa keghaiban kecil (gairah sughra),
fase ini di mulai awal masa imamah Imam Ketujuh (Musa Kazhim) pada tahun 150
Han berakhir pada permulaan masa keghaiaban kecil (ghayabah shugrho) pad tahun
260 H. dalam rentang waktu ini aa enam Imam yang hidup, namun masyarakat syi’ah
hanya dapat berhubungan denan lima orang dari mereka sja. Hasl telaah
membuktikan bahwa hadis syi’ah pada periode ini telah mulai disusun dan
dibukukan. Hadis syia’ah juga diajarkan dalam berbagai hauzah taklim dan
disempurnakan serta dikembangkan oleh para Imam yang hidup pada fase ini.
Fase Keempat:
Masa munculnya jawami’ haditsi (kumpulan-kumpulan hadis) Syi’ah. Sejak
permulaan abad ke-3 H muncul kecendrungan untuk melakukan pembagian bab-bab
hadis dan menyusun kitab-kitab ensiklopedia (jamia hadits), sehinggga
banyaknya kitab yang ditulis dalam kaitan ini. Sayangnya, sementara penyebaran
dan pengajaran hadis berlangsung begitu semarak diberbagai hauzah, namun tidak
ada sebuah kitab rujukan yang dapat
menjawab bebagai kebutuhan dan tuntutab keilmuan. Bernagkat dari
kebutuhan pusat-pusat keilmuan dan beberapa maslah yang lain. Para ulama syi’ah
sejak awal abad ke-4 H mengambil langkah untuk menyusun kitab-kitab hadis yang
lebih lengkap. Usaha-usaha ini dengan menjadikan hadis-hadis para Imam sebagai
sumber dan rujukan telah melahirkan emapt kitab utama (Kutub al-Arb’ah) dalaam
tema-tema fikih dan beberapa kitab berkaitan dengan akidah.[33]
C.
Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam Konteks Kekinian
Berbicara
mengenai kritik akan sanad dan matan hadis, tentunya sebuah kajian yang
mendalam akan sebuah hadis. Kritik adalah sebuah kata yang sangat urgen dan
bisa dikatakan bahwa kata ini bermakna menyakitkan bagi orang yang kemudian di
kritik. Tapi dibalik ini pula tersimpan sebuah proses pembelajran dan
pengenalan lebih jauh akan sesuatu.
Jika
dimasukkka dalam kajian kritik sanad dan Matan akan sebuah hadis, tentunya akan
sedikit mengidentifikaasi akan kevalidan atau dalam bahasa hadisnya shahih.
Dalam
tataran konteks kekinian atau ala kontenporer hari ini. Hadis-hadis yang
dulunya sering digunakan dan dipakai oleh berbagi ulama pada masanya. Mungkin
hari ini tidak dapat lagi digunakan ketika ia telah dikaji. Dengan beberapa
alat dan bantuan hari ini baik dari segi teknologi maupun ilmu pengetahuan hari
sudah begitu canggih juga sangat membantu dalam proses penelitian hadis dengan
adanya beberpa program-program yang ditawarkan.
Kritik
Sanad, maka dia akan mengkaji dari segi rentetan riwayatnya antara tokoh yang
satu dengan yan lainnya apakah mereka pernah bertemu atau tidak, apakah perawi
itu adil dalam kehidupannya sebab jika tidak maka itu akan mempengaruhi akan
kevalidisan hadis tersebut. Kemudian, apakah perawi itu hapalannya kuat atau
tidak. Jadi focus kjaian pada kritik sanad adalah ia cendrung kepada tokoh dan
keberlangsungan akan hadis tersebut.
Kritik
Matan. Matan merupakan muatan atau isi dari sebuah hadis yang kemudian juga memiliki beberapa takaran
standaritas. Adapun standar-standr akan matan tersebut adalah dia tidak boleh
bertentangan dengan kitab (al-Quran) dan akal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengawalan
akan keberlangsungan hadis Nabi maupun sunnahnya tentu tak lepas dari bagiamana
seseorang atau kelompok itu dalam melihat dan memposisikan akan sesuatu itu
pasti memiliki sebuah alasan yang esensial. Pertanyaan yang kemudian hadir
dalam hal tersebut, bagaiamana kedudukan hadis dalam aliran seperti Ahlusunnah
dan syiah, itu seperti apa?. Dari pertanyaan tersbut, penulis mencoba
memberikan uraian akan hal tersebut.
Dzahabi menukil dari Marasil Ibn Abi Malikah, bahwa pasca wafatnya
Rasul saw, Abu Bakar mengumpulkan masyarakt dan berkata, “Kalian meriwayatkan
hadis dari Rasulullah saw, sementara kalian berselisih tentang hadis-hadis yang
kalian riwayatkan. Mereka yang akan datang setelah kalaian, tentu akan semakin
banyak perselisihan yang terjadi diantara mereka tentang hadis-hadis tersebut.
Karena itu, jangan kalian menukil hadis dari Rasulullah saw. Apabila seseorang
betanya kepada kalian tentang sesuatu, katakana kepada mereka, al-Quran
ditengah-tengah kita, halalkanlah halalnya dan haramkan haramnya. Kemudian
dalam kitab lain yakni Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Ibn Qutaibah Dainuri
menegaskan, “Kebanyakan shabat-sahabat besar, khususnya mereka yang dekat
dengan Rasulullah saw, termasuk Abu Bakar, Abu Ubaidahdan Abbas bin Muthalib,
jarang sekali meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw”. Perlu diketahui ulama Ahlusunnah,
setelah memaparkan fakta-fakta tersebut, berusaha memberikan alasan aatas
inisiatif Abu Bakar, diantaranya, Dzahabi yang menulis, “orang pertama yang
paling berhati-hati (ber-ihtiyath) dalam menerima riwayat adalah Abu Bakar”[34].
Dalam hal ini, Mahmud Abu Rayyah menulis, “Abu Bakar tidak mau menerima hadis
dari siapapu keculi ada saksi yang membenarkan hadis tersebut. Dia dengan
caranya yang seperti itu, telah meletakkan syarat shahih al-isnad atasv dapat
diterimanya sebuah hadis[35].
Akan tetapi, jelas terlihat bahwa berbagai alasan ini bertengan dengan
bukti-bukti yang telah diutrakan oleh Dzahabi yang menunjukkan pelarangan
penukilan hadis secara umum dan penyelapan atau pembakaran kumpulan-kumpulan
hadis.
Selain shaifah yang tampaknya hanya memuat hadis-hadis
tentang hukum diyat dan sedikit persoalan lainnya, Syiah juga berpandangan,
bahwa Rasulullah saw mendiktekan pada Imam Ali hadis-hadis lain yang disalin
dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar, yang dikenal dengan nama al-Jami’ah.
Imam Ja’far Shadiq menyebutkan bahwa al-Jami’ah adalah lembara-lembaran yang
mencakup semua persoalan halal dan haram.
-
Fase
Pertama: Era Imam Ali
bin Abi Thalib sampai masa Imam Sajjad.
-
Fase
Kedua: Masa
kepemimpinan Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq
-
Fase
Ketiga: Masa
kepemimpinan Imam Ketujuh hingga masa keghaiban kecil (gairah sughra)
-
Fase
Keempat: Masa
munculnya jawami’ haditsi (kumpulan-kumpulan hadis) Syi’ah
B.
Saran
Demikianlah penyusunan makalah yang semapat disusun oleh penulis
dengan harapan untaian saran dan kritikan sesame penimba ilmu ditujukan kepada
penulis sebagai proses penyempurnaan penulisan-penulisan berikutnya, Karen
penulis sadar akan ketidaksempurnaan makalah tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Antologi
Islam. Terj.
“Encyclopedia of shia” (Jakarta: Al-Huda cetakan pertama I. Dzulhijjah
1425/Januari 2005.
-
Dainuri,
Abdullah bin Muslim bin Qutaibah. Ta’wil Mukhtalafi al-Hadits . Beirut :
Dar l-Kutub al-Ilmiyyah
-
Dzahabi,
Syamsuddin. Tadzkirat al-Huffazh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1374
Hijri Qamariy.
-
Husaini,
Muhammad Ridha Jalali. Tadwin al-Sunnah al-Syarifah. Qom: Daftar –e
Tablight-e Islami, 1413 Hijri Syamsi
-
Qasimi,
Jamaluddin. Qawa’id al-Tahdits min Fununi Mushtalah al-Hadits. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1339 Hijriy Qamari.
-
Kulaini,
Muhammad bin Ya’kub. Al-Kafi. Tahkik oelh Ali Akbar Ghifari. Teheran:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1363 Hijrih Syamsi.
-
Suyuthi,
Jamaluddin. Tsdrib al-Rawi. Ditahkik
oleh Doktor Ahmad. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1405 Hijri Qamariy.
-
Majlisi,
Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durari Akhbaril Ainmatil Athar.
Beirut: Muassasah al-Wafa, cet:Kedua, 1403 Hijri Qamariy
-
Ma’arif,
Majid Sejarah Hadis Terj. Abdillah Mustafha (Jakarta: Nur al-Huda 2012)
[1] Jamaluddin Qasimi, Qawa’id
al-Tahdits, hal 48-50
[2] M.A Rayyah, Adhwa ‘ ‘ala
al-sunnah al-Muhammadiyyah, (Beirut Muassaseh Mansyurate A’lami).
[3] Majlisi, Bihar al-Anwar,
Juz 2, hal: 184.
[4] Ibid,-
[5] Kulaini, Ushul al-Kafi,
juz 1 hal: 60 Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 2.
[6] Sabda ini disampaikan oleh
Rasul saw pada tahun ke-10 H di masjid Khaif. Sebagian besar kitab-kitab
kumpulan hadis telah menukilnya. Lihat Kulaini, al-Kafi, juz 1, hal:
403; Sunan Ibn Majah, juz,1, hal: 84; Sunan Turudzi, juz 5, hal:
34; Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3, hal:225, dan juz, 4 hal: 8; Sunan
Darimi, juz,1.hal: 74; Jamaluddin Qasimi, Qawa’id al-Tahdits. Hal 48. Perlu
diketahui, dalam kumpulan-kumpulan hadis tersebut , hadis ini telah sampai
dengan sedikit perbedaan redaksi, namun tidak mengubah maknanya. Di antaranya,
Syafi’i dan Baihaqi meriwayatkan dari Ubnu Mas’ud bahwa Rasul saw bersabda :
نضر ا
لله ا مرءا سمع منا شيئا فبلغه كما سمعه فر ب مبلغ او عي من سا مع
“Allah
akan memperindah wajah seseorang yang mendengarkaan (hadis) dari kami lalu dia
menyampaikannya sebagaimana yang telah didengarnya, maka sedikit sekali seorang
mubalig yang lebih paham daripada pendengarnya”.
Menurut
Turmudzi, hadis ini adalah hasan dan sahih. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Turmudzi,
menukil hadis ini dari Zaid bin Tsabit dengan redaksi sebagai berikut :
يشا
فبلغه غير ه فر ب حا مل فقه ال من هو ا فقه و ر ب حا مل فقه ليس بفقيه نضر الله
المرء سمع منا حد
[7] Jamaluddin Qasimi, Qawa’id
al-Tahdits, hal: 50 dinukil dari Thabrani.
[8] Kulaini, Al-Kafi, juz
,1 hal:403; Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 2, hal:152; Ibnu Abdilbar, Jami’u
Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih, juz, 1, hal:40
[9] Shahih Muslim, hadis
ke-2298
[10] Dr. Majid Ma’arif, Sejarah
Hadis, hal:57.
[11] Ibid,-
[12] Izzuddin Ibnu Atsir, Uhud
al-Ghabah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.Q), juz 3, hal:245
[13] Dr. Majid Ma’arif, Sejarah
Hadis, hal:82
[14] M.A. Rayyah, Adhwa ‘ala
as-Sunnah al-Muhamadiyyah, hal:57
[15] Ibnu Qutaibah Dainuri, Ta’wil
Mukhtalaf al-Hadits, (Beirut: Da al-Kutub al-Ilmiyyah), hal:41.
[16] M.R. Jalali Husaini, Tadwn
al-Sunnah al-Syarifah, hal:437, dinukil dari Kanz al-Ummal.
[17] Syamsuddin Dzahabi, Tadzkirur al-Huffash, juz 1, hal 7
[18] M.A. Rayyah, adhwa ‘ala
al-Sunnah al-Muhammadiyyah, hal:54.
[19] Ibid,- hal:55
[20] Ibid,- hal:54
[21] Jamaluddin Suyuthi, Tadrib al-Rawi, juz 2 hal:64; Yusuf Ibnu
Abdul Barr, Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih, juz 1, hal: 64.
[22] Syamsuddin Dzahabi, Tadzkirat
al-Huffazh,juz 1, hal: 70.
[23] Shahih Muslim, juz 3, hal:1210
[24] M.R. Jalali Husaini, Tadwin
al-Sunnah al-Syarifah,hal:474, dinukil dari Kamil Ibnu Adi.
[25] Subhi Shalih, ‘Ulum
al-Hadits wa Mushthalahuh, hal:286
[26] Ibid.
[27][27] Ibnu Khaldum, Muhammad bi
Abdurahman, Muqaddimah, (Beirut: Muassasat al-A’lami li
al-Mathbu’at,t.t), hal:439
[28] Mas’udi, Muruj al-Dzahab,
juz 3, hal:266
[29] Majalah
waris (Majalah yang diterbitkan oleh kedutaan besar
iran), No 14/Tahun IV Muharram-Shafar 1419 H, yang menyadur dari majalah al-Hidayat
ath-Thayyibah edisi Ramadhan 1418 H.
[30] Ibid
[32] Sunan Darimi, juz 1, hal: 132
[33] Di anatara kitab-kitab di
bidang akidah (tauhid) dapat disebutkan : Uyun Akhbar al-Ridha, Kamal al-Din
wa Tamam al-Ni’mah karya Syekh Shaduq; Kitab al-Ghaybah, Amali, Talkhish
al-Syafi dan linnya karya Syekh Thusi
[34] Dr. Majid Ma’arif, Sejarah
Hadis, hal:82
[35] M.A. Rayyah, Adhwa ‘ala
as-Sunnah al-Muhamadiyyah, hal:57
Langganan:
Postingan (Atom)