Senin, 14 Januari 2013

Menjaga Keberlangsungan as-Sunnah dari Masa ke Masa (Sebuah Kajian Perbandingan History as-Sunnah antara Sunnih dan Syiah)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kondisi hari ini adalah kondisi zaman yang begitu genting dengan berbagai masalah yang dihadapi perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu semakin canggih, tekonology yang semakin elit. Namun disisi lain kita tertinggal akan pengetahuan agama. Dan bahkan ditinggalkan karena itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman, parahnya lagi nanti masa tua baru belajar agama. Inilah ironi dunia hari ini.
Pengetahuan agama secara umum saja tidak dipedulikan apalagi yang secara spesifik misalnya hadis dan sunnah Nabi yang dari zaman ke zaman sedkit demi sedikit tak terpedulikan lagi. Namun, hari ini Penulis mencoba menguraikan sedikit pengetahuan seperti apa dan bagaimana prosesi keberlangsungan dan kepenjagaan hadis dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sampai hari ini.
Berbicara mengenai hadis maupun sunnah Nabi, tentunya kita tak lepas dari segi history dan perjalanan itu sendiri. Misalnya: hadis Nabi sampai hari ini kita ketahui bersama bahwa ada pengkategorian-pengkategorian akan hal itu. Apalagi berbicara pada aliran-aliran atau golongan-golongan yang ada dalam Islam itu sendiri. Kita ambil saja Ahlusunnah dan Syi’ah tentang tanggapannya terhadap hadis Nabi apakah diantara dua aliran besar ini mengkultuskan atau menafikannya.
Secara history, bagaimana akan prosesi penulisan hadis Nabi. Dalam hal ini para ulama dan cendekia berbeda pendapat dan bahkan terjadi banyak kesimpang siurang mengenai penulisannya. Jadi tak salah pabila hari ini kita banyak mendapati hadis-hadis yang kontradiksi dengan akal dan al-Quran atau di istilahkan dengan hadis dhoif (palsu).
Tokoh-tokoh yang hadir sebagai penulis, periwayat, sejarahwan, kritikus, dan peneliti. Sungguh hasil yang sangat menakjubkan sehingga ruang-ruang dialektika begitu banyak orank tertarik akan hala tersebut. Apalagi hadirnya orang-orang yang ingkar akan sunnah-sunnah Nabi yang terkadang terjadi pergeseran pemaknaan akan hadis-hadis Nabi. Ya, itulah fenomena hadis yang hadir hari ini. Dkiritik dan dibudayakan.
Mungkin gambaran itu yang akan mengacu penulis untuk sedikit memasuki ruang perbandingan dalam pembahasan kali ini. Yakni dua aliran besar dalam Islam yakni Ahlusunnah dan syi’ah melihat hadis-hadis Rasul. Tanpa ada pendikteaan akan sebuah aliran dan barah pembaca yang memberikan kesimpuan tersendiri. Mengapa kemudianpenulis lebih cendrung kepada hal tersebut karena melihat kondisi Islam di zaman kekiniaan ada yang aneh disisi lain atau dalam artian sebgaian kaum muslimin mencoba membuka ruang pluralisme disisi lain sebagianpula dengan enteng dan mudah mengkafirkan diluar pemahamannya bukan hanya yang mereka kafirkan nonmuslim tapi dalam musli sendiri. Sehingga peran dingin dan saudara kerap kli terjadi. Dan makna Islam rahmatan lil alamin mengalami pula pergeseran makna. Pernahkah kita sedikit merenung apa yang menjadi penghambat kemajuan Islam dan kemundurannya itu yang mendasari sebenarnya itu apa. Inilah faktayang hari ini kita dapatkan. Haruskah kita biarkan dan hanyamelihat dengan berdiam diri, tentu bagi orang-orang yang berpikir tidak seperti itu.

B.     Rumusan Masalah

Melirik sedikit latar belakang diatas, maka ada beberapa poin yang kemudian menjadi rujukan dalam membuat sebuah rumusan masalah. Agar apa yang menjadi bahasan kedepannya bisa terarah. Adapun rumusan-ruusan masalahnya itu diantaranya sebagai beriku :
1.      Bagaimana kedudukan Hadis Nabi dalam pandangan Ahlusunnah dan syiah?
2.      Sejak kapan prosesi (history) penulisan Hadis Nabi itu berlangsung?
3.      Kritik Sanad dan Matan akan hadis

C.    Tujuan Penulisan

Dalam penulisan malakah ini, penulis mencoba menarik sebuah kemanfaatan dari apa yang menjadi bahasan pada kesepatan ini, diantaranya :
1.      Memberikan gambaran akan prosesi keberlangsungan dan penjagaan akan hadis dan sunnah Nabi.
2.      Adanya titik terang antara Ahlusunnah dan syiah, dalam rangka mengurangi pengkafiran dan pelaknakan dimana-mana. Sehingga sikap tolerir dan perbedaan itu terterapakan dalam konteks kehidupan dimasa kekinian
3.      Memberdayakan, dan meningkatkan akan pentingnya mengkaji pelajaran-pelajaran agama. Karena itulah jalan keselamatan menuju kepadakehariban Ilahi.
4.      Mengurangi tingkat kriminalitas dan peperangan kecil antara kaum muslim dan nonmuslim
5.      Menghargai dan lapang dada dalam melihat sebuah permaslahan. Bertindak tanpa anarkisme, dan pertumpahan darah yang sia-sia.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Hadis dalam Pandangan Ahlusunnah dan Syi’ah

Pengawalan akan keberlangsungan hadis Nabi maupun sunnahnya tentu tak lepas dari bagiamana seseorang atau kelompok itu dalam melihat dan memposisikan akan sesuatu itu pasti memiliki sebuah alasan yang esensial. Pertanyaan yang kemudian hadir dalam hal tersebut, bagaiamana kedudukan hadis dalam aliran seperti Ahlusunnah dan syiah, itu seperti apa?. Dari pertanyaan tersbut, penulis mencoba memberikan uraian akan hal tersebut.

1.      Kedudukan Hadis dikalangan ulama Ahlussunnah

Selain Rasul SAW, hadis dalam pandangan ulama Islam, khususnya para ulama Ahlusunnah, mendapatkan posisi yang sngat tinggi. Berikut ini adalah beberapa komentar dari para iman empat mazhab[1] :
1).Malik bin Anas, imam Mazhab Malikiya, berkata, “Hadis tak lain adalah (kandungan) agama itu sendiri. Perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama itu. Aku dibawah tiang-tiang masjid ini (Masjid Nabawi), telah bertemu dengan tujuh puluh orang yang semuanya mengatakan “qala rasulullah”, namun aku tidak mengambil hadis dari satu pundari mereka”[2].
2).Dinukil dari Syafi’I, imam Mazhab Syafi’iyyah, bahwa ia berkata, “Tak satupun sunnah Rasulullah SAW, yang bertentangan dengan al-Quran.” Menurut imam kelompok Syafi’iyyah ini, hadis dan para muhaddis adalah benteng yang kokoh dalam menghadapi serangan pemikiran kelompok Zanadiqah. Ia berkeyakinan, “JIka tidak ada ahli qalam (orang-orang yang mengabadikan ucapan-ucapan Rasulullah saw), kaum Zanidiqah sudah berkhotbah di atas mimbar-mimbar,” Juga dinukil bhwa ia pernah berkata, “ Ketika aku Berjumpa dengan seorang perawi hadis, sepertinya aku telah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah saw.” Syafi’I juga berkeyakinan bahwa dengan adanya hadis dan riwayat dari Nabi saw, tidak ada jalan untuk menggunakan rakyu dan kias. Oleh sebab itu, dalam kitab al-Umm, ia menulis: “Setiap pernyataan yang bertentangan dengan sunnah dan perintah Nabi saw, maka pernyataan itu akan gugur dan tak dapat digunakan.
3).tentang Ahmad bin Hambal, Baihaqi memberikan pernyataan: setiap kali dinyatakan tentang suatu masalah padanya, ia selalu berkata, “Apakah dengan adanya (kalam) Rasulullah saw, masih ada di tempat bagi pendapat dan pandangan orang lain?!” Oleh sebab ini, ia tidak mau menerima pendapat fukahadan berkeyakinan, “Selain orang yang hatinya sakit dan rusak, maka tidak ada orang yang mempelajari kitab-kitab ulama rakyu dan kias.” Putra alim ini yang bermana Abdullah bin Ahmad Bin Hanbal berkata “Aku tak pernah bertnanya kepada Ayahku, apabila seseorang beradadi sebuah kota yang hanya ditinggali oleh dua orang, salah satunya adalah seorang muhaddis yang tidak pandai dalam membedakan antara hadis yang saqim dan shahih, yang stunya lagi adalah seorang yang fakih yang memberikan fatwa berdasarkan pendapatnya sendiri, kepada siapakah ia harus bertanya tentang masalah-masalah agama antara dua orang itu?” Ayahku menjawab, “(Biarlah) ia bertanya kepada Muhaddis dan jangan merujuk kepada ahli rakyu.” Perlu dicatat, Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama beraliran Akhbari, namun ia berkeyakinan bahwa sunnah tidak dominan atas al-Quran, tetapi sunnah berkedudukan sebagai fenafsir dan penerangan al-Quran.
4).Sebagaimana yang telah dimaklumi, di antara para empat mazhab, Abu Hanifah yang mengikuti rakyu dan kias, mengeluarkan fatwa-fatwanya berdasarkan itu. Walaupun begitu adanya, Jamaluddin Qasimi dalam kitabnya telah menukil tentang perhatian Abu Hanfiah dalam mengikuti sunnah. Diantaranya, ia menulis, “Abu Hanifah berkata, “Berhati-hatilah kalian dalam berkomentar tentang agama dengan pendapat diri sendiri. Kalian harus senantiasa mengikuti sunnah. Karena siapa pun yang keluar dari jalan sunnah, maka ia pasti sesat dan menyeleweng.” Di tempat lain, ia menukil ucapan Abu Hanifah yang berkata, “Jika tidak ada sunnah, tak satupun dari kita yng dapat memahami al-Quran.

2.      Kedudukan Hadis dalam Riwayat Para Imam Maksum

Dalam riwayat para Imam Syi’ah, hadis memiliki posisi yang sangat tinggi dan mulia. Dalam riwayat-riwayat tersebut, para imam juga menegaskan peran hadis dalam menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Mereka berpesan kepada para pengikutnya untuk memahami dengan benar maksud dan makna hadis, menghapal serta menjaganya, juga meneruskannya untuk generasi-generasi yang akan datang. Dalam hal ini, banyak bukti yang dapat diketengahkan, namun secara garis besar akan disebutkan dalam beberapa riwayat saja.
1). Imam Ja’far Shadiq meriwayatkan dari ayahnya yang berkata pdanya, “Wahai putraku, nilaialah kedudukan setiap syi’ah dengan jumlah yang mereka simpan dan pengetahuan mereka terhadap riwayat-riwayat itu karena pengetahuan tidak lain adalah pengenalan dan pemahaman tentang riwyat-riwayat. Dengan memahami riwayatlah, seorang mukmin dapat mencapai derajat-derajat iman yang paling tinggi[3].
2). Mengenai urgensi memahami hadis, Imam Ja’far Shadiq berkata, “Satu hadis yang kamu pahami, lebih baik dari seribu hadis yang kamu riwayatkan (tanpa kamu pahami)[4].
3). Muawiyah bin Ammar berkata, “Kepada Abu Abdillah al-Shadiq as kukatakan, “Ada seorang laki-laki yang berusaha keras dalam menyampaikan ucapan-ucapan kalian (para maksum) dan mengikat hati (orang-orang syi’ah) dengan iman, di sampingnya ada seorang abid yang tidak berdakwah seperti dia. Manakah diantara mereka berdua yang lebih utama?” Beliau berkata, “Orang yang berusaha keras dalam menyebarkan hadis kmi dan mengikat hati orang-orang syiah dengan iman, lebih utama bahkan seribu hamba (abd)[5].

Beberapa keterangan diatas adalah sekelumit bukti-bukti yang menujukkan kedudukan hadis dan sunnah Rasul saw dalam literature dan sumber-sumber keislaman. Pelu ditambahkan, kedudukan sunnah yang sperti inilah yang menyebabkan adanya perhatian khusus sejak zaman Rasulullah saw dalam masalah menghapal,menjaga dan menukil hadis untuk generasi-generasi mendatang.

B.     Prosesi (Histrory) Penulisan Hadis-Hadis Nabi dari Masa ke Masa

Berkenan dengan penukilan hadis secara lisan di masa Rasulullah saw dan periwayatannya dari mereka yang mendengar langsung kepada yang tidak hadir, terdat banyk bukti dlam kitab-kitab hadis, sekaligus menujukkan sikap setuju Rasulullah saw ddengan bentuk penukilan hadis yang seperti ini. Sebagian bukti-bukti itu adalah sebgai barikut.
1.      Kelompok syi’ah dan sunnih meriwayatkan bahwa Rasulullah saw dalam rangka menyampaikan khotbah di haji wada’ berkata : “ Semoga Allah membahagiakan orang yang mendengar ucpanku lalu memahaminya, kemudian menyampaikannya kepaa yang belum mendengarnya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu (hukum agama) namun ia bukan fakih (ahli istinbath) dan betapa banyak para pembawa ilu (yang fakih) yang meriwayakan(ilmunya) kepada orang yang lebih fakih dari dirnya[6]
2.      Thabrani menukil dari Abi Qirshafah yang meriwayatkan dari Rasul saw, bahwa Beliau berkata, “Sampaikanlah kepada orang lain yang kalian dengar dariku dan janganlah kalian berucap kecuali yang benar. Barangsiapa yang berdusta padaku, maka akan didirakn baginya rumah dineraka jahannam di mana ia akan tinggal di sana[7]. Di samping riwayat ini, sudah menjadi kebiasaan Rasul saw untuk mengakhiri setiap sabdanya dengan ucapan, “Hendaknya yang hadir(dan mendengar) menyampaikannya kepada yang tidak hadir”[8]. Beliau senantisa menugaskan orang yang mendengar untuk menyampaikan kepada yang tidak mendengar. Atau menurut beberapa riwayat lain, Beliau pernah berucap dengan redaksi sebagai berikut “Sampaikanlah apa yang dariku dan kalian tidak dilrang untuk melakukannya.”[9] Dengan penegasan ini berarti Beliau telah mengeluarkan izin bagi siapapun untuk menyampaikan sabdanya. Beliau hanya mengharamkan dan melarang siapapun yang berdusta padanya.
Sebagian shabat Rasul saw, sepanjang kehidupan Beliau, telah membuat catatan-catatan seputar sabda-sabda beliau. Pekerjaan ini ada yang memang merupakan perintah langsung dari Rasulullah saw dan ada juga yang berasal dari inisiatif para sahabat itu sendiri[10]. Mengenai hal ini, terdapat beberapa bukti secara ilmiah yang menunjukkan bahwa beliau setuju dengan penulisan dan pembukuan hadis. Berikut ini adalah beberapa dianataranya :
1.      Rasul saw selalu mengabadikan berbagai macam perjanjian dengan kabilah-kabilah Arab dalam bentuk dokumen-dokumen tertulis. Bahkan sebagaian juru tulis beliau, hanya bertugas untuk mencatat perjanjian-perjanjian. Sebagaiannya telah termaktub dalam buku-buku sirah. Sebagai contoh dari perjanjian Madinah, telah dibuat sebuah perjanjian antara Mujahirin, Ansar dan orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah. Dalam perjanjian itu telah dijelaskan hak-hak dari masing-masing kelompok. Perjanjian ini beruapa sebuah dekumen tertulis. Mereka yang menerima butir-butir perjanjian itu dikenal dengan sebutan Ahlu Hadzhish Shahifah[11].
2.      Dintara bukti-bukti yang paling orisinal tentang penulisan hadis di masa hayat asul saw adalah protes yang dilakukan oleh para pemuka Quraisy terhadap Abdullah bin Amr bin Ash dalam masalah penulisan hadis. Kejadian protes ini telah dimuat dalam kumpulan-kumpulan hadis Ahlusunnah, seperti Sunan Darimi (kitab hadis tertua Ahlussunnah), dinukil dari ucapan Abdullah, “Apa yang aku dengar dari Rasulullah saw, selalu aku tulis agar dapat kuingt. Namun orang-orang Quraisy mencegahku dan berkata, “ENgkau selalu menulis apapun yang kau dengar (dari Rasulullah saw), padahal Dia adalah manusia yan juaga berkata-kata, baik dalam keadaan rela (suka) maupun marah.” Lalu aku berhenti menulis dan kubcarakan hal ini kepada Rasul saw . kemudian Beliau berkata padaku, “Teruslah menulis! Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman-NYA, tidak ada yang keluar dari mulutku selain kebenaran”[12].
Dari beberapa bukti-bukti sejarah bagaiman Rasul menyetujui akan penukilan, penulsan serta pembukuan hadis yang berlaku di masanya. Kemudian kit akan melanjutkan bahsan ini bagaimana prosesi keberlangungan dimasa khalifah yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan. Gambaran akan hal itu sedikit akan diurai dalam beberapa poin :
a.       Masa Khalifah Abu Bakar
Dzahabi menukil dari Marasil Ibn Abi Malikah, bahwa pasca wafatnya Rasul saw, Abu Bakar mengumpulkan masyarakt dan berkata, “Kalian meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw, sementara kalian berselisih tentang hadis-hadis yang kalian riwayatkan. Mereka yang akan datang setelah kalaian, tentu akan semakin banyak perselisihan yang terjadi diantara mereka tentang hadis-hadis tersebut. Karena itu, jangan kalian menukil hadis dari Rasulullah saw. Apabila seseorang betanya kepada kalian tentang sesuatu, katakana kepada mereka, al-Quran ditengah-tengah kita, halalkanlah halalnya dan haramkan haramnya. Kemudian dalam kitab lain yakni Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Ibn Qutaibah Dainuri menegaskan, “Kebanyakan shabat-sahabat besar, khususnya mereka yang dekat dengan Rasulullah saw, termasuk Abu Bakar, Abu Ubaidahdan Abbas bin Muthalib, jarang sekali meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw”. Perlu diketahui ulama Ahlusunnah, setelah memaparkan fakta-fakta tersebut, berusaha memberikan alasan aatas inisiatif Abu Bakar, diantaranya, Dzahabi yang menulis, “orang pertama yang paling berhati-hati (ber-ihtiyath) dalam menerima riwayat adalah Abu Bakar”[13]. Dalam hal ini, Mahmud Abu Rayyah menulis, “Abu Bakar tidak mau menerima hadis dari siapapu keculi ada saksi yang membenarkan hadis tersebut. Dia dengan caranya yang seperti itu, telah meletakkan syarat shahih al-isnad atasv dapat diterimanya sebuah hadis[14]. Akan tetapi, jelas terlihat bahwa berbagai alasan ini bertengan dengan bukti-bukti yang telah diutrakan oleh Dzahabi yang menunjukkan pelarangan penukilan hadis secara umum dan penyelapan atau pembakaran kumpulan-kumpulan hadis.

b.      Umar bin Khattab
Ibn Qutaibah Dainuri menulis, “Umar bersikap keras terhadap orang yang banyak menukil hadis atau tidak memiliki saksi atas hadis yang dibawakannya. Ia memerintahkan para sahabat untuk sedikit menukil hadis, agar masyarakat luas tidak gampang eriwayatkannya, materi-materi yang tidak sahih tidak tersusupkan dalam riwayat dan tadlis serta dusta tidak dapat dilakukan oleh orang munafik, fajir dan a’rabi (orang-orang awam Arab)”[15]. Adapun berkenaan dengan pencegahan Umar atas penukilan dan penulisan, terdapat beberapa bukti. Diantarnya: (1). Abdurahman bin Auf dalam sebuah hadis berkata, “Umar tidak meninggal dunia kecuali telah menghadirkan sahabat-sahabat Rasul saw yang tinggal di berbagai kawasan seperti Abdullah bin Hudzaifah, Abu Darda, Abu Dzar dan Uqbah bin Amir, lalu berkata kepada mereka, “Mengapa kalian menukil dan membawakan hadis ke berbagai kota?” Mereka menjawab, “Apakah engkau melarang kami untuk menukil hadis?” Umar berkata, “Tidak, namun tinggallah kalian disisku dan jangan berpisah dariku selama aku masih hidup karena kami mengetahui mana hadis yang kami terima dan mana yang tidak”. Mereka pun tinggal di Madinah hingga wafatnya Umar”[16]. (2).Setelah menyebutkan sanad, Dzahabi menulis: “Umar telah memenjarakan tiga orang sahabat di Madinah, yaitu Ibn Ma’sud, Abu Darda dan Abu Mas’ud Anshari kemudian berkata kepada merek, “Kalian terlalu banyak menukil dan meriwayatkan hadis Nabi saw,”[17]. Mereka tetap terpenjarakan hingga Utsman membebaskan mereka.[18] Dalam hal ini, Ibn Katsir menulis: “Masalah tentang Umar ini sangatlah masyhur.” Di tempat lain Ibn Katsir berucap, “Umar sering berkata, “Kurngilah penukilan hadis kecuali dalam hukum-hukum amaliah.”[19].

c.       Utsman bin Affan
Politik larangan dan penulisan hadis seperti yang telah dikukuhkan di masa Khalifah Umar (kedua), juga berlanjut pada masa khalifah Utsman. Dalam hal ini juga terdapat beberapa bukti diantaranya : (1). Ibn Saad dan Ibn Katsir meriwaytakan dari Mahmud bin Labid, bahwa ia berkata, “Aku pernah mendengar Utsman mengumumkan di atas mimbar: “siapapun tidak diizinkan untuk meriwayatkan hadis kecuali yang sudah didengar di zaman Au Bakar dan Umar.” Kemudian ia berate, “Tidak ada sesuatu yang mencegahku untuk menukil hadis Nabi sw, melainkan sesuatu yang telah aku dengar dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata, “Siapa saja yang menisbahkan sebuah ucapan padaku yang aku tidak pernah mengatakannya, maka tempatnya adalah neraka.””[20]. (2). Darimi menukil dari para muhaddis Ahlusunnah: Abu Dzar, salah seorang sahabat Nabi saw, sedang duduk dekat jumrah kedua (jumrah wustha) di kota Mina. Banyak orang yang berkerumun melingkar dan bertanya padanya tentang masalah-masalah agama. Kala itu, salah seorang para petugas  khalifah datang menghampiri seraya berkata, “Bukankah engkau telah dilarang untuk meriwayatkan hadis dan memberi fatwa?” Abu Dzar berkata, “pakah engkau mengawasiku?” Kemudian Abu Dar sambil menunjuk lehernya sendiri berkata, “Apabila engkau meletakkan pedang di sini, dan aku masih berkesempatan untuk menyampaikan satu hadis dari sabda-sabda Rasulullah saw, yang pernah aku dengar, sebeum tertebasnya batang leherku, tanpa sedikit pun keraguan, akan kulakukan hal itu.”[21].
            Inilah sedikit uraian mengenai hadis dan kedudukannya dianatara ketiga khalifah ini. Dari urain tersebut mungkin sedikit kita bisa memberikan kesimpulan tersendiri akan hal tersebut.
            Kemudian kita akan mencoba menoreh bagaimana kondisi hadis di masa dua Dinasti besar dalam Isla yakni Dinasti Bani Umayah dan Abbasyiah.
a.       Kondisi Hadis pada masa Bani Umayyah
Pasca syahadah Ali bin Abi Thalib dan perdamaian Muawiyah dengan Imam Hasan, bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan dan menjadi sebab terjadinya banya perubahan dalam dunia Islam. Berkaitan dengan kondisi hadis, perubahan-perubahan penting itu diantaranya: Khilafah Muawiyah saapi akhir abad pertama Hijrah, Khilafah Umar bin Abdulasis smapi jatuhnya Bani Umayyah. Berdasarkan bukti-bukti sejarah, pada periode iin selain tetap dibelakukannya larangan penukilan dan penulisan hadis yang sudah menjadi tradisi  sejak zaman khalifah pertama, terdapat dua petka lain berkitan dengan hadis; Pertama, terdapat hadis palsu yang pada masa ini mencapai titik puncaknya, dan yang lain adalah tombulnya fenomena israiliyat dan cerita-certia karangan juga menampakkan diri pada periode ini.
Pada periode ini, secara berangsur para sahabat Nabi saw meninggal dunia dan peranan mereka dalam penukilan hadis serta pemberian fatwa beralih ke tangan para tabiin. kalangan tabiin sendiri sedkit banyak menghormati dan mengikuti sikap-sikap yang telah diambl oleh para sahabt. Tentu, pengaruh yang besar dalam masalah ini adalah penekanan Muawiyah untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan para khalifah sebelumnya. Berikut ada beberapa data sejarah yang perlu untuk kita simak: (1). Raja’ bin Abi Salamah berkata, “Aku telah mendapat berita bahwa Muawiyah berkata kepada masyarakt, “Riwayatkanlah hadis-hadis yang kalian diperbolehkan untuk meriwaayatkannya pada zaman Khalifah Umar. Ketahuilah, Umar telah melarang masyarakat untuk menukil hadis Nabi saw.””[22]; (2). Diriwayatkan oleh Yashhabi: “Aku sering mendengsr Muawiyah berkata, “Aku peringatkan kalian untuk tidak meriwayatkan hadis kecualai hadis-hadis yang boleh diriwayatkan di masa Umar. Ketahuilah, Umar di jalan Allah, telah melaranb masyarakat untuk menukil hadis.”[23] (3). Ibnu Adi meriwayatkan dari Ismail bin Ubiadillah bahwa ia berkata, “Muawiyah telah memperingatkan masyarakat untuk tidak menukil hadis kecualai hadis-hadis yang diriwatkan di masa Umar dan telah mendaptakan pengukuhannya.”[24].
Produksi hadis-hadis palsu merupakan slaah satu sarana yang paling besar pengaruhnya bagi Muawiyah untuk memperkokoh kekuasaan Bani Umayah dan memerangi bani Hasyim. Para peneliti dan penulis sejarah menegaskan bahwa asal mula pembuatan hadis-hadis palsu di dalam Islam adalah tahun 41 H dantidak jauh daari syahadah Ali. Diantaranya , Subhi Shalih menulis, “Pemlasuan hadisdimalai sejak 41 H dan itu terjadi di akhir masa kepemimpinan Khalifah Keempat (Ali bin Abhi Thalib) ketika kaum muslim terjerat dalam pertikaian dan terbagi mnjadi tiga kelompkok mayoritas (Ahlusunnah), Khawarij. Dan Syi’ah.”[25]. Subhi Shalih kemudian menambahkan: “Faktor yang paling dominan dalam terjadinya fenomena pemalsuan hadis sejak pertama adalah untuk mengukuhkan kebenaran mazhab-mazhab leh para pengikut dan pendukung masing-masing firkah.”[26].
Topik lain yang mungkin untuk dikaji pada periode ini adalah masalah munclnya hadis-hadis Israiliyat yang masuk dalaam kancah hadis, sejarah dan tafsir  (umat Islam). Ibnu Khaldum, sosilog Islam, berpendapat bahwa sebab menyebarnya Israiliyat  aalah kebodohan masyarakat Arab dan dominasi budaya Badui di tengah mereka.[27].

b.      Hadis di masa Bani Abbasiyah
Pada tahun 12 H, dengan terbunuhnya khalifah terakhir Umwi, silsilah Bani Umayah pun runtuh dan Abul Abbas Saffah menduduki kursi khilafah sebagai khalifah pertma Bani Abbas.[28] Masa khilafah Saffah berlangusng selama empat tahun. Masa itu berjaan untuk menguatkan fondasi kekausaan Bani Abbas. Pasca meninggalnya Saffah, masyarakat berbaiat kepada saudaranya yang bernama Abu Ja’far Mansyur. Dalam massa inilaha, disamping memperkuat tatanam poltitk, ia juga memutuskan untuk memperkuat dasar-dasar ideology Ahlusunnah. Dapat dikatakan, di sana terdapat bayank factor yang menjadi sebab dukungan khalifah Abbasiyah untuk memperkuat posisi ulama dan dilakukannya pembukuan serta penulisan berbgai ilmu. Sebagaian faktor-faktor itu berkaitan dengan masalah-masalah internal Ahlusunnah dan sebagaian lain berkaitan dengan situasi ddan kondisi dil uar mazhab ini.
Berkaitan dengan periode-periode penyusunan di kalangan ahlusunnah , Mahmud Abu Rayyah menulis: “Dari penjelasan seputar upaya ulama pada abad ke-2 dan ke-3 H yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis Rasululllah saw di masa beliau dan masa para sahabat serta pembesar tabiin, belum tersusun. Pada dasarnya penyusunan hadis belum terlaksana kecualai pada abad ke-2, tiu pun pada akhir-akhir periode kekuasaan Bani Umayyah. Ketika penulisan dan penyusunan dimulai pada muhaddis menggunakan metode penyusunan yang berbeda-beda , sehingga gerakan penulisan , sejak dimulai sampai pada akhirnya, telah melalui tahapan-tahapan diantaranya:
1.      Tahapan Pertama: Pada tahapan ini, yang juga bisa disebut sebgai tahapan “kanak-kanak” penyusunan, para muhaddis berusaha menulis apa yang ada dalam ingatan mereka.
2.      Tahapan Kedua: Tahapan ini terjadi pada masa Bani Abbas, ketika parah ulama (dengan mencontoh orang-orang Iran) melakukan pembenahan dan penerbitan tulisan-tulisan mereka. Mereka memasukkan riwayat-riwayat yang (baru) mereka terima ke dalam karya mereka.
3.      Tahapan Ketiga: Pada periode ini, penyusunan telah menempuh arah baru dalam melanjutkan perjalanannya. Yakni, para ulama mulai memishakan anatara hadis-hadis Nabi saw dengan ucapan para sahabat dan tabiin, yang di dalamnya ucapan ara sahabat dan tabiin ditulis terpisah dari ucpan-ucapan Rasul saw.
4.      Tahapan Keempat: Periode ini adalah periode penyortiran dan pengoreksian atas riwayat-riwayat. Para muhaddis enderung menyusun kitab-kitab yang menurut hemat mereka shahih.
 Itulah gambaran mengenai rentetan penukilan dan penulsan hadis dari sisi Ahlusunnah. Sekarang kita coba melihat prosesi (historical) hadis dalam kalangan Syi’ah atau juga sering dipanggil dengan pecinta Ahlul-Bait.
Sesungguhnya penulisan hadis Syiah sudah dimulai sejak zaman Nabi saw seperti halnya dalam keilmuan Sunni.  Akan tetapi selanjutnya yang membuat beda adalah bahwa menurut Syiah, orang yang pertama yang melakukan penulisan hadis adalah Imam Ali dengan imla (dikte) Rasullah saw. Tulisan itu disebut dengan nama Shaifah.
Selain shaifah yang tampaknya hanya memuat hadis-hadis tentang hukum diyat dan sedikit persoalan lainnya, Syiah juga berpandangan, bahwa Rasulullah saw mendiktekan pada Imam Ali hadis-hadis lain yang disalin dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar, yang dikenal dengan nama al-Jami’ah. Imam Ja’far Shadiq menyebutkan bahwa al-Jami’ah adalah lembara-lembaran yang mencakup semua persoalan halal dan haram.[29]
Para Imam memerintahkan para pengikutnya agar supaya mencatat hadis-hadis yang didengar dari para Imam agar supaya warisan yang agung itu tidak hilang. Maka ketika kesempatan itu terbuka, misalnya pada masa Imam Ja’far Shadiq sejumlah sahabat dan para pengikut Ahlulbait mulai mengumpulkan hadis-hadis, sehingga terhimpunlah pada masa Imam Ja’far Shadiq, apa yang kemudian dikenal dengan nama Ushulul arba’ah Mi’ah atau empat ratus pokok agama.[30] Syiah yakin bahwa hanya al-Quran yang sangat shahih, dan semua hadis yang berkaitan dengan Nabi dan para Imam harus disesuaikan dengan al-Quran. Apabila hadis-hadis tersebut terbukti bertentangan dengan al-Quran, logika dan fakta sejarah maka hadis-hadis itu harus ditolak. Hal ini disebabkan karena kaum Syiah tidak memberi otoritas mutlak kepada seorang ulama. Otoritas mutlak hanya diberikan kepada al-Quran, Nabi dan para Imam. Apabila Nabi dan para Imam tidak ada, semua hadis yang dinyatakan berasal dari mereka harus disesuaikan dengan al-Quran, logika dan fakta sejarah.[31]
Dengan memerhatikan situasi politik, social, dan kultur Syi’ah pada abad-abad pertama, maka periode klsaik terbagi beberapa fase berikut ini:
Fase Pertama: Era Imam Ali bin Abi Thalib sampai masa Imam Sajjad, hasil telaah sejarah politik syi’ah menujukkan bahwa pada abad pertama hijriah, ada emapt Imam yang hidup di masa itu. Dan, selain masa khilafah singkat Imam Ali bi Abi Thalib, tiga Imam yang lin praksis tersisih dari arena politik,  bahkan dalam keadaan sangat terhimpit dan tertekaan. Dengan kata lain, abad pertama Hijriah dari sejarah Syi’ah terdapat dua fase yang benar-benar berbeda, yaiutu fasev prakhilafah Imam Ali, ketika Ahlulabait Rasul saw benar-benar tersisih dari masalah kultur dan politik muslimin. Perlu diketahui, sikap para Imam syi’ah dan pengikut mereka dalam fase ini, tidak hanaya diamm berpangku tangan dan menerima siasat para khalifah apa adanaya. Namun berdasrkan berbagai fakta sejarah, orang-orang syi’ah tidak mau tunduk pada siasat para khalifah dalam larangan penukilan dan penulisan hadis, juga tidak bertaqiyah dlam menyebutkan berbagai (riwayat) tentang keutamaan Ahlulbait Rasul saw. Buktinya, adalah berbagai riwayat yang bercerita tentnang perlawanan sebagian sahabat Imam Ali terhdap berbagaia kebijakan penguasa juga perjuangann mereka dalam menukil dan  mengungkapkan keutamaan-keutamaan Ahlulbait.  Di antaranya: Abdurahman Darimi, salah seorang muhadis Ahlusunnah menulis: Abu Dzar, slah seorang sahabat besar Rasulullah saw, sedang berada di Mina dan duduk di dekat Jumrah Wustha. Ia di kelilingi oleh banyak orang yang berkerumun dan menanyakan padanya masalah-masalah agama. Tiba-tiba salah seorang utusan khalifah datang dan berkata kepadanya, “Bukankah engkau telah dilarang untuk menukil hadis dan berfatwa?” Abu Dzar menjawab, “Apapkah engkau ditugaskan mengawasiku?” Kemudian Abu Dza memberi isyarat yang menunjukkan bagian belakang lehernya seraya berkata, “Apabila engakau meletakkan pedang pada bagian ini sementara itu aku masih dapat menyampaikan salah satu dari sabda Rasul saw yanh telah kudengar dari beliau, maka tanpa sedikitpun keraguan aku akan menyampaikannya”[32]
  Fase Kedua: Masa kepemimpinan Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq, pada fase ini di mulai kira-kira sejak permulaan kepemimpinan Imam kelima (al-Baqir)dan berakhir dengan syahadah Imam keenam (al-Shadiq). Fase ini sangat berperan besar dalam terbentuknya hadis  syi’ah. Karenanya, kita akan melihat situasi dan kondisi masyarakat Islam pada masa ini sehingga denan mengetahui keadaan mereka, kita dapat memahami faktor-faktor apa saja yng menjadikan kedua Imam mulia ini akhirnya berhasil dan berkesempatan dalam mendirikan paham fikih syi’ah. Sejak Imam Kelima hinggga syahadah Imam Keenam secara keseluruhan terdapat sembila khalifah yang berkuasa dari BAni Umayyah dan Bani Abbasiyah.  
Fase Ketiga: Masa kepemimpinan Imam Ketujuh hingga masa keghaiban kecil (gairah sughra), fase ini di mulai awal masa imamah Imam Ketujuh (Musa Kazhim) pada tahun 150 Han berakhir pada permulaan masa keghaiaban kecil (ghayabah shugrho) pad tahun 260 H. dalam rentang waktu ini aa enam Imam yang hidup, namun masyarakat syi’ah hanya dapat berhubungan denan lima orang dari mereka sja. Hasl telaah membuktikan bahwa hadis syi’ah pada periode ini telah mulai disusun dan dibukukan. Hadis syia’ah juga diajarkan dalam berbagai hauzah taklim dan disempurnakan serta dikembangkan oleh para Imam yang hidup pada fase ini.
Fase Keempat: Masa munculnya jawami’ haditsi (kumpulan-kumpulan hadis) Syi’ah. Sejak permulaan abad ke-3 H muncul kecendrungan untuk melakukan pembagian bab-bab hadis dan menyusun kitab-kitab ensiklopedia (jamia hadits), sehinggga banyaknya kitab yang ditulis dalam kaitan ini. Sayangnya, sementara penyebaran dan pengajaran hadis berlangsung begitu semarak diberbagai hauzah, namun tidak ada sebuah kitab rujukan yang dapat  menjawab bebagai kebutuhan dan tuntutab keilmuan. Bernagkat dari kebutuhan pusat-pusat keilmuan dan beberapa maslah yang lain. Para ulama syi’ah sejak awal abad ke-4 H mengambil langkah untuk menyusun kitab-kitab hadis yang lebih lengkap. Usaha-usaha ini dengan menjadikan hadis-hadis para Imam sebagai sumber dan rujukan telah melahirkan emapt kitab utama (Kutub al-Arb’ah) dalaam tema-tema fikih dan beberapa kitab berkaitan dengan akidah.[33]
C.    Kritik  Sanad dan Matan Hadis dalam Konteks Kekinian

Berbicara mengenai kritik akan sanad dan matan hadis, tentunya sebuah kajian yang mendalam akan sebuah hadis. Kritik adalah sebuah kata yang sangat urgen dan bisa dikatakan bahwa kata ini bermakna menyakitkan bagi orang yang kemudian di kritik. Tapi dibalik ini pula tersimpan sebuah proses pembelajran dan pengenalan lebih jauh akan sesuatu.
Jika dimasukkka dalam kajian kritik sanad dan Matan akan sebuah hadis, tentunya akan sedikit mengidentifikaasi akan kevalidan atau dalam bahasa hadisnya shahih.
Dalam tataran konteks kekinian atau ala kontenporer hari ini. Hadis-hadis yang dulunya sering digunakan dan dipakai oleh berbagi ulama pada masanya. Mungkin hari ini tidak dapat lagi digunakan ketika ia telah dikaji. Dengan beberapa alat dan bantuan hari ini baik dari segi teknologi maupun ilmu pengetahuan hari sudah begitu canggih juga sangat membantu dalam proses penelitian hadis dengan adanya beberpa program-program yang ditawarkan.
Kritik Sanad, maka dia akan mengkaji dari segi rentetan riwayatnya antara tokoh yang satu dengan yan lainnya apakah mereka pernah bertemu atau tidak, apakah perawi itu adil dalam kehidupannya sebab jika tidak maka itu akan mempengaruhi akan kevalidisan hadis tersebut. Kemudian, apakah perawi itu hapalannya kuat atau tidak. Jadi focus kjaian pada kritik sanad adalah ia cendrung kepada tokoh dan keberlangsungan akan hadis tersebut.
Kritik Matan. Matan merupakan muatan atau isi dari sebuah hadis  yang kemudian juga memiliki beberapa takaran standaritas. Adapun standar-standr akan matan tersebut adalah dia tidak boleh bertentangan dengan kitab (al-Quran) dan akal.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pengawalan akan keberlangsungan hadis Nabi maupun sunnahnya tentu tak lepas dari bagiamana seseorang atau kelompok itu dalam melihat dan memposisikan akan sesuatu itu pasti memiliki sebuah alasan yang esensial. Pertanyaan yang kemudian hadir dalam hal tersebut, bagaiamana kedudukan hadis dalam aliran seperti Ahlusunnah dan syiah, itu seperti apa?. Dari pertanyaan tersbut, penulis mencoba memberikan uraian akan hal tersebut.
Dzahabi menukil dari Marasil Ibn Abi Malikah, bahwa pasca wafatnya Rasul saw, Abu Bakar mengumpulkan masyarakt dan berkata, “Kalian meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw, sementara kalian berselisih tentang hadis-hadis yang kalian riwayatkan. Mereka yang akan datang setelah kalaian, tentu akan semakin banyak perselisihan yang terjadi diantara mereka tentang hadis-hadis tersebut. Karena itu, jangan kalian menukil hadis dari Rasulullah saw. Apabila seseorang betanya kepada kalian tentang sesuatu, katakana kepada mereka, al-Quran ditengah-tengah kita, halalkanlah halalnya dan haramkan haramnya. Kemudian dalam kitab lain yakni Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Ibn Qutaibah Dainuri menegaskan, “Kebanyakan shabat-sahabat besar, khususnya mereka yang dekat dengan Rasulullah saw, termasuk Abu Bakar, Abu Ubaidahdan Abbas bin Muthalib, jarang sekali meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw”. Perlu diketahui ulama Ahlusunnah, setelah memaparkan fakta-fakta tersebut, berusaha memberikan alasan aatas inisiatif Abu Bakar, diantaranya, Dzahabi yang menulis, “orang pertama yang paling berhati-hati (ber-ihtiyath) dalam menerima riwayat adalah Abu Bakar”[34]. Dalam hal ini, Mahmud Abu Rayyah menulis, “Abu Bakar tidak mau menerima hadis dari siapapu keculi ada saksi yang membenarkan hadis tersebut. Dia dengan caranya yang seperti itu, telah meletakkan syarat shahih al-isnad atasv dapat diterimanya sebuah hadis[35]. Akan tetapi, jelas terlihat bahwa berbagai alasan ini bertengan dengan bukti-bukti yang telah diutrakan oleh Dzahabi yang menunjukkan pelarangan penukilan hadis secara umum dan penyelapan atau pembakaran kumpulan-kumpulan hadis.
Selain shaifah yang tampaknya hanya memuat hadis-hadis tentang hukum diyat dan sedikit persoalan lainnya, Syiah juga berpandangan, bahwa Rasulullah saw mendiktekan pada Imam Ali hadis-hadis lain yang disalin dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar, yang dikenal dengan nama al-Jami’ah. Imam Ja’far Shadiq menyebutkan bahwa al-Jami’ah adalah lembara-lembaran yang mencakup semua persoalan halal dan haram.
-          Fase Pertama: Era Imam Ali bin Abi Thalib sampai masa Imam Sajjad.
-          Fase Kedua: Masa kepemimpinan Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq
-          Fase Ketiga: Masa kepemimpinan Imam Ketujuh hingga masa keghaiban kecil (gairah sughra)
-          Fase Keempat: Masa munculnya jawami’ haditsi (kumpulan-kumpulan hadis) Syi’ah

B.     Saran

Demikianlah penyusunan makalah yang semapat disusun oleh penulis dengan harapan untaian saran dan kritikan sesame penimba ilmu ditujukan kepada penulis sebagai proses penyempurnaan penulisan-penulisan berikutnya, Karen penulis sadar akan ketidaksempurnaan makalah tersebut.





















DAFTAR PUSTAKA

-          Antologi Islam. Terj. “Encyclopedia of shia” (Jakarta: Al-Huda cetakan pertama I. Dzulhijjah 1425/Januari 2005.
-          Dainuri, Abdullah bin Muslim bin Qutaibah. Ta’wil Mukhtalafi al-Hadits . Beirut : Dar l-Kutub al-Ilmiyyah
-          Dzahabi, Syamsuddin. Tadzkirat al-Huffazh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1374 Hijri Qamariy.
-          Husaini, Muhammad Ridha Jalali. Tadwin al-Sunnah al-Syarifah. Qom: Daftar –e Tablight-e Islami, 1413 Hijri Syamsi
-          Qasimi, Jamaluddin. Qawa’id al-Tahdits min Fununi Mushtalah al-Hadits. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1339 Hijriy Qamari.
-          Kulaini, Muhammad bin Ya’kub. Al-Kafi. Tahkik oelh Ali Akbar Ghifari. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1363 Hijrih Syamsi.
-          Suyuthi, Jamaluddin. Tsdrib  al-Rawi. Ditahkik oleh Doktor Ahmad. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1405 Hijri Qamariy.
-          Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durari Akhbaril Ainmatil Athar. Beirut: Muassasah al-Wafa, cet:Kedua, 1403 Hijri Qamariy
-          Ma’arif, Majid Sejarah Hadis Terj. Abdillah Mustafha (Jakarta: Nur al-Huda 2012)



[1]  Jamaluddin Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, hal 48-50
[2]  M.A Rayyah, Adhwa ‘ ‘ala al-sunnah al-Muhammadiyyah, (Beirut Muassaseh Mansyurate A’lami).
[3]  Majlisi, Bihar al-Anwar, Juz 2, hal: 184.
[4]  Ibid,-
[5]  Kulaini, Ushul al-Kafi, juz 1 hal: 60 Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 2.
[6]  Sabda ini disampaikan oleh Rasul saw pada tahun ke-10 H di masjid Khaif. Sebagian besar kitab-kitab kumpulan hadis telah menukilnya. Lihat Kulaini, al-Kafi, juz 1, hal: 403; Sunan Ibn Majah, juz,1, hal: 84; Sunan Turudzi, juz 5, hal: 34; Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3, hal:225, dan juz, 4 hal: 8; Sunan Darimi, juz,1.hal: 74; Jamaluddin Qasimi, Qawa’id al-Tahdits. Hal 48. Perlu diketahui, dalam kumpulan-kumpulan hadis tersebut , hadis ini telah sampai dengan sedikit perbedaan redaksi, namun tidak mengubah maknanya. Di antaranya, Syafi’i dan Baihaqi meriwayatkan dari Ubnu Mas’ud bahwa Rasul saw bersabda :
نضر ا لله ا مرءا سمع منا شيئا فبلغه كما سمعه فر ب مبلغ او عي من سا مع
“Allah akan memperindah wajah seseorang yang mendengarkaan (hadis) dari kami lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang telah didengarnya, maka sedikit sekali seorang mubalig yang lebih paham daripada pendengarnya”.
Menurut Turmudzi, hadis ini adalah hasan dan sahih. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Turmudzi, menukil hadis ini dari Zaid bin Tsabit dengan redaksi sebagai berikut :
يشا فبلغه غير ه فر ب حا مل فقه ال من هو ا فقه و ر ب حا مل فقه ليس بفقيه نضر الله المرء سمع منا حد
[7]  Jamaluddin Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, hal: 50 dinukil dari Thabrani.
[8]  Kulaini, Al-Kafi, juz ,1 hal:403; Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 2, hal:152; Ibnu Abdilbar, Jami’u Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih, juz, 1, hal:40
[9]  Shahih Muslim, hadis ke-2298
[10]  Dr. Majid Ma’arif, Sejarah Hadis, hal:57.
[11]  Ibid,-
[12]  Izzuddin Ibnu Atsir, Uhud al-Ghabah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.Q), juz 3, hal:245
[13]  Dr. Majid Ma’arif, Sejarah Hadis, hal:82
[14]  M.A. Rayyah, Adhwa ‘ala as-Sunnah al-Muhamadiyyah, hal:57
[15]  Ibnu Qutaibah Dainuri, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, (Beirut: Da al-Kutub al-Ilmiyyah), hal:41.
[16]  M.R. Jalali Husaini, Tadwn al-Sunnah al-Syarifah, hal:437, dinukil dari Kanz al-Ummal.
[17]  Syamsuddin Dzahabi, Tadzkirur  al-Huffash, juz 1, hal 7
[18]  M.A. Rayyah, adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, hal:54.
[19]  Ibid,- hal:55
[20]  Ibid,- hal:54
[21] Jamaluddin Suyuthi, Tadrib al-Rawi, juz 2 hal:64; Yusuf Ibnu Abdul Barr, Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih, juz 1, hal: 64.
[22]  Syamsuddin Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh,juz 1, hal: 70.
[23] Shahih Muslim, juz 3, hal:1210
[24]  M.R. Jalali Husaini, Tadwin al-Sunnah al-Syarifah,hal:474, dinukil dari Kamil Ibnu Adi.
[25]  Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, hal:286
[26] Ibid.
[27][27]  Ibnu Khaldum, Muhammad bi Abdurahman, Muqaddimah, (Beirut: Muassasat al-A’lami li al-Mathbu’at,t.t), hal:439
[28]  Mas’udi, Muruj al-Dzahab, juz 3, hal:266
[29]  Majalah waris (Majalah yang diterbitkan oleh kedutaan besar iran), No 14/Tahun IV Muharram-Shafar 1419 H, yang menyadur dari majalah al-Hidayat ath-Thayyibah edisi Ramadhan  1418 H.
[30]  Ibid
[31]  Antologi Islam. Terj. “Encyclopedia of shia” hlm. 693.
[32] Sunan Darimi, juz 1, hal: 132
[33]  Di anatara kitab-kitab di bidang akidah (tauhid) dapat disebutkan : Uyun Akhbar al-Ridha, Kamal al-Din wa Tamam al-Ni’mah karya Syekh Shaduq; Kitab al-Ghaybah, Amali, Talkhish al-Syafi dan linnya karya Syekh Thusi
[34]  Dr. Majid Ma’arif, Sejarah Hadis, hal:82
[35]  M.A. Rayyah, Adhwa ‘ala as-Sunnah al-Muhamadiyyah, hal:57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar