Rabu, 26 Desember 2012

Ushul Fiqh


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebagaimana kita ketahui bahwa kewajiban kita sebagai generasi baru dalam zaman pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan negara dan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqh Islam keseluruh bagian tanah air kita. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqh islam berarti kerusakan dan kebinasaan masyarakat Islam.
            Salah satu penyebaran fiqh islam tersebut dengan cara menguasai kaidah-kaidah fiqh yang menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda kasus, keadaan, dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah di dalam memberi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan hikmah yang terkandung di dalam fiqh.
Dalam ushul fiqh berbagai macam-macam hukum-hukum yang dijelaskan. Dan pada kesempatan penulisan ini, kami membahas mengenai al-Ahkam dan turunan-turunannya.







B.     Rumusan Masalah
Melihat sinopsis itu. Hal ini yang kemudian mengicu Pennyusun untuk membuat dan merumuskan beberapa permasalahan dalam tinjauan al-ahkam. Yakni diantaranya :
1.      Pengertian al-Ahkam dan Pembagian-pembangiannya
2.      Pengertian tentang mahkum Bihi/Fihi
3.      Pengertian tentang mahkum Alaih.

C.    Tujuan Penulisan
Dengan adanya penulisan ini, kami memcoba memberikan sebuah tawaran kepada teman-teman dengan tujuan :
1.      Memberikan pemahaman tentang al-Ahkam
2.      Memahami dasar-dasar mengenai al-Ahkam
3.      Para pengkaji-pengkaji tentang ushul fiqh lebih banyak mendaptkan referensi mengenai hal tersebut
4.      Dapat mengaktualkan pemahaman-pemahaman akan teori-teori ushul fiqh.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Defenisi dan Pembagian-Pembagiannya

1.      Defenisi
Menurut para ahli Ushul Fiqih (Ushuliyyun), yang dimaksud dengan hukum syar'i ialah: "Khithab pencipta syari'at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau pengahalang bagi adanya sesuatu yang lain". Hukum syar'i dibagi kepada dua macam, yaitu
a.       Hukum taklifi
b.      Hukum Wad'i.

a)      Hukum Taklifi dan pembagiannya
Hukum taklifi adalah khithab syar'i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkannya. Hukum taklifi ada lima macam, yaitu
1)      Wajib
a). Dari aspek pelaksanaanya, hukum wajib atau fardu tersebut dapat dibedakan  menjadi:
1.Muthlaq ( tidak terikat), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa harus terikat dengan waktu tertentu, seperti mengganti puasa Ramadhan bagi yang tidak berpuasa krena uzhur yang dibenarkan oleh syariat.
2.Muqayyad (terikat), yaitu yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, sementara waktunya ditentukan. Misalnya, shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Pelaksanaan ibadah tersebut terikat oleh waktu, sehingga seorang mukallaf yang terkena kewajiban tersebut akan berdosa jika mengerjakannya diuar waktunya.

o   Muwassa’ (longgar), yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya longgar.   Contoh, shalat isya’, bisa dikerjakan diawal ataupun ditengah malam.
o   Mudhayyaq (sempit), yaitu kebajiban yang waktu pelaksanaannya sempit , tidak bisa dipilih antara awal ataupun pertengahan. Misalnya puasa Ramadhan, waktunya tetap mulai fajar hingga terbenam matahari.

b)   Dari aspek keterukurannya, wajib atau fardu dapat diklasifikasikan menjadi :
1.      Muhaddad al-Miqdar (dengan ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai dengan kadar ukuran tertentu, seperti membayar zakat dan rakaat dalam shalat fardu.
2.      Ghayr Muhaddat al-Miqdar (dengan tanpa ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa disertai kadar kadar tertentu, seperti membelanjakan harta dijalan Allah dan nafkah kepada istri dan anak.

c)   Dari aspek substansi (ayniyyah-nya) wajib dan fardhu tersebut bisa diklasifikasikan menjadi :
1.      Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar substansinya dikerjakan dengan tuntutan yang tengas, tanpa disertai pilihan yang bisa dipilih oleh seorang mukallaf, seperti shalat.
2.      Ghayr Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai pilihan bagi seorang mukallaf untuk menentukan mana substansi kewajiban yang dikerjakan. Misal kafarat untuk sumpah.

d).  Dari aspek subyek yang terkena tanggung jawab, wajib dan fardu tersebut  bisa diklasifikasikan menjadi :
1.       ‘Ayn (perkepala), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh setiap mukallaf dengan tuntutan yang tegas, karna itu apa yang dilakukan seseorang tidak bisa menggugurkan kewajiban orang lain. Contohnya seperti, shalat, zakat, puasa dan sebagainya.
2.      Kifayah (kolektif), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh sejumlah orang denga tuntutan yang tegas, jika telah dikerjakan oleh sebagian, maka kewajiban tersebunt gugur dari dari pundak yang lain, dan mereka sudah tidak berdosa.

e). Dari aspek substantifnya, wajib danfardu tersebut juga dapat diklasifikasikan menjadi :
1.   Wajib Lidzatihi (substansial), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, karna substansinya.
2.   Wajib Lighayrihi (aksidental), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal, ketika ia menjadi sarana yang bisa menyempurnakan kewajiban substantif.

2.Sunnah ( Mandub)
Menurut istilah syara’, sunnah adalah apa yang dituntut oleh pembuat syariat untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak tegas, apa yang dilakukan akan diganjar dan tidak disiksa jika meninggalkannya. Sunnah kadang bersifat Muakkad (yang dikuatkan), seperti sunnah shalat subuh dan Id. Ada yang tidak Muakkad, seperti sunah shalat Ashar. Hukum ini memang jika dikerjakan, pelakunya akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa, namun adakalanya tidak baik untuk ditinggalkan seperti sunnah menikah. Karena jika ditinggalkan, umat akan mengalami degenerasi atau tidak mempunyai penerus.



3.Haram
Secara etimologis, haram diambil dari al-hurmah, yang berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar4. Menurut syara’ adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya akan dikecam, dikenai saksi di dunia dan azab di akhirat. Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya digunakan untuk larangan yang tegas disertai dalil qath’i, namun jika tidak disertai dalil qath’i, maka disebut dengan makruh tahrim5. Meskipun sebenarnya, dua-duanya maksudnya sama. Sebagai contoh dalam Firman Allah ,“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. [17:32]Haram ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu haram substansial dan haram aksidental :
- ˜Ibn’Abidin, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Juz I. Hal 246
- Ibn an-humam. At-Tahrir, Musthafa al-Bab al-Halabi, Kaero.hal.217
 a. Haram Lidzatihi (substansial) adalah apa yang dituntut untuk  ditinggalkan   dengan tuntutan yang tegas, karna substansinya. Misalnya zina, riba, membunuh dan suap.
 b. Haram Lighayrahi ( aksidental), adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal.Misalnya menghina tuhan para penganut agama lain.

3.      Makruh
Makruh adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas, dimana pelakunya tidak akan disiksa, sementara meninggalkannya lebih baik, terpuji dan akan diganjar oleh Allah SWT.Aktivitas yang berstatus hukum makruh dilarang namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya. Atau dengan kata lain perbuatan makruh dapat diartikan sebagai perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan. Seperti Makan/Minum sambil berdiri dan Merokok.

5.Mubah
Secara syar’i, mubah adalah khithab dari pembuat syariat yang ditunjukkan oleh dalil sam’i yang didalamnya berisi pilihan antara melaksanakan dan meninggalkan tanpa disertai kompensasi. Contoh seperti makan dan minum.

b). Hukum Wadh’i dan pembagiannyaHukum wadh'i ialah khithab syara' yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu.
                          i.       Sebab. yaitu sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabbab (hukum). Artinya dengan adanya sebab terwujudlah musabbab (hukum) dan dengan tiadanya sebab, tidak terwujudlah suatu musabbab (hukum). Oleh karena itu, sebabnya haruslah jelas lagi tertentu dan dialah yang dijadikan oleh Syari' sebagai 'illat atas suatu hukum.
                        ii.       Syarat. Yaitu sesuatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan tidak adanya, maka tidak ada masyrut. Dengan arti bahwa syarat itu tidak masuk hakikat masyrut. Oleh karena itu, tidak mesti dengan adanya syarat itu ada masyrut.
                      iii.      Mani' (Penghalang). Yaitu sesuatu yang karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum.

B.      Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)

“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’) dan rasulnya yang bersifat tuntutan mengerjakan , tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat sebab, halangan, azimah, rukshah, sah dan bathal”
Mahkum fiihi juga diartikan perbuatan orang mukhallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’. Minsalnya ayat 1 surat almaidah allah berfirman:
  “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukhallaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.(Satria Efendi: 2005:73-74)
a. Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
Contoh firman Allah SWT : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS al-Baqoroh/2 : 183)
Firman Allah SWT di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, status hukumnya adalah wajib.
b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut:
a.       Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b.      Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c.       Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d.      Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.

      C. Mahkum alaih                                  
a). Pengertian
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia menggerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi
Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.

b)     Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka di anggap tidak bias memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda rasulullah:
رُفِعَ الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الناَئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin abi thalib)
·                             c). Syarat-syarat Taklif
Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bias di kenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a.       Orang itu telah mampu memahami khithab syar’I (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain; karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan-disuruh atau dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap suruhan dan larangan yang menjadi khithab syar’i. dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu talif.
b.      Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka selurh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa di pertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak di bebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap hilang.



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Menurut para ahli Ushul Fiqih (Ushuliyyun), yang dimaksud dengan hukum syar'i ialah: "Khithab pencipta syari'at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau pengahalang bagi adanya sesuatu yang lain"
2.      Hukum taklifi adalah khithab syar'i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkannya.
3.      Hukum wadh'i ialah khithab syara' yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab.
4.      Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia menggerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.

B.     Saran
Demikianlah penulisan makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua baik pribadi ini, dan semua kalangan manusia yang ingin mempelajari dan mendalami Isla yang secara khaffah. Namun, disisi lain penyusun juga sadar kalau dalam penyusunan makalah kami masih sangat jauh dari harapan dan kesempurnaan. Maka, kami membutuhkan saran dan kritikannya agar kedepannya kami dapat melakukan perubahan-perubahan. Dan ucapan terima kasihlah yang kemudian paling pantas kami ucapkan atas apa yang selama ini diberikan.


























DAFTAR PUSTAKA

-          Effendi Satria. M. Zein. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Prenada Media Group
-          Firdaus. 2008. Ushul Fiqh; Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensip. Yogyakarta. PT. Zikrul Hakim
-          Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ilm Al-Ushul, Beirut : Dar El-Kutub El-Ilmiyah, cetakan tahun 1413 H
-          Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Beirut-Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun
-          Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badrain, 2005, Nadzoriyyah At-Taq’id Al-Ushuly, Kairo: Dar Ibn Hajm
-          Prof. H. Mohammad Daut Ali, SH, ”HUKUM ISLAM”, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

-          Drs. Hafidz Abdurrahman, MA. “ USHUL FIQIH , Membagun Paradiqma Berfikir Tasyri’I”, Al- Azhar Press, 2003, Bogor.

Sumber lain :
-          http://moenawar.multiply.com/

-          http://dewaarka.wordpress.com/2009/07/26/hukum-islam/

-          http://id.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar