Rabu, 26 Desember 2012

Thobaqot dan Pengaruhnya Terhadap Hadis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah

Melihat kondisi zaman hari ini, dimana ilmu-ilmu agama kini mulai direnggut dengan ilmu-ilmu saintik yang harus dan kesemuanya harus ilmiah, jika tidak maka ia tidak akan dikatan sebagai ilmu, tapi pengetahuan. Inilah kelemahan kita hari sebagai umat islam yang seanantiasa mengikuti arus apa yang diinginkan oleh orang-orang yang ingin menghancurkan islam baik secara internal maupun secaraeksternal dengan propaganda yang mereka lakukan.

Perkembangan ilmu-ilmu dalam islam itu kini saatnya untuk kita kembangkan bersama agar apa yang pernah dikatakan oleh rasulullah saw bahwa islam akan kembali meraih kejayaannya kembali. Dan itu bisa terwujud ketika kita sadar akan pentingnya yng namanya ilmu. Karen dengan ilmu hala-hal apa yang menjadi keinginan dan harapan itu bisa terwujudkan.

Dengan adanya dasar dari itu, penulis mencoba membahas suatu tema kajian tematik dalam ilmu hadis yakni tingkatan-tingkatan perawi dan pengaruhnya didalam hadis itu sendiri. Karena dengan adanya tingkatan-tingkatan para kaum orientalisme menghantam ilmu-ilmu hadis dan didalam islam itu sendiri terjadi yang namanya ingkar sunnah. Hal ini menjadi lagi kemunduran-kemunduran islam. Dan kita juga mengenal kitab-kitab hadis yang begetu banya ada shohih bukhari, shohih muslim, sunan dawud, sunan ad-tirmidzi, sunan ibnu madjah, dll, yang dimana mereka berbeda dalam melihat para perawi-perawi tersebut. Misalnya imam bukhari dalam melihat perawi, ia memeberikan syarat yakni perawi tersebut harus adil, dhabit, dan siqhot. Begitu pula dengan imam hadis yang lainnya.

Dalam bahasan ini, penulis memcoba memberukan pandandan terhadap thobaqot dalam makalah ini, dengan harapan ada proses penambahan wacana kita dalam memahami hadis yang secara mendalam. Karena melihat kondisi tersebut, sehingga banyakanya timbul pemalsuan-pemalsuan hadis yang dipaksakan sampai ke sandaran nab muhammad saw. Ini juga merupakan tepisan-tepisan untuk membela dan tetap membentengi sunnah rasulullah saw.




B.     Rumusan Masalah

Adanya permasalahan-permasalahan yang terjadi hari ini, dan komplit-komlpit yang ada dalam islam. Terjadinya hal yang seperti itu tak lain dan tak bukan dari interpretasi kita terhadap sebuh permasalahan. Dengan adanya hal itu, rumusan masalah yang kemudian penulis angkat adalah sebagai berikut :
1.      Apa defenisi daripada thobaqot dan tingkatan-tingkatannya serta tokoh-tokohnya ?
2.      Pembukuan kitab-kitab hadis ditinjau dari zaman dan periodenya ?
3.      Pengaruh thobaqot dalam hadis, sehinnga adanya klasifikasi-klasifikasi hadis?

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk menambah khazanah intelektual kita terhadap ilmu hadis
2.      Menemabah pehaman kita terhadap ilmu-ilmu yang terkait hadis
3.      Mencobaah menelaah atas phenomena-penomena terhadap kaum-kaum yang mencoba mmeberikan pandangannya terhadap agama islam
4.      Khazanah intelektual kita harus ini dibangun dengan membudidayakan kembali budaya-budaya membaca.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Defenisi Daripada Thobaqot Dan Tingkatan-Tingkatannya Serta Tokoh-Tokohnya

      Dalam kajian tentang perawi, kita harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia periwayatan (bukan persilatan lho-red). Mulai dari nama lengkapnya, julukannya, nama panggilannya, tempat tanggal lahir maupun wafatnya, tempat domisilinya, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya (rihlah), guru-gurunya, maupun thabaqat-nya.

            Dalam kesempatan ini, kita hendak membahas tentang thabaqat ar-ruwat (tingkatan para perawi hadis). Menurut kamus bahasa, arti thabaqat adalah sekelompok orang yang hidup semasa atau dalam zaman yang berbeda namun mempunyai kapasitas-kualitas yang sama secara keilmuan, keahlian, atau profesinya. Menurut istilah ilmu hadis, thabaqat ialah kelompok orang yang semasa, sepantaran usianya, sama dalam periwayatan hadis atau dalam menerima hadis dari guru-gurunya.

      Tingkatan-tingkatan thobaqot  yang ada dalam ilmu-ilmu hadis itu terbagi atas beberapa bagian diantaranya :
1. Thobaqot yang pertama : para shahabat (الصحابة)
2. Thobaqot yang kedua : thobaqot kibar tabi’in (كبار التابعين), seperti sa’id bin al-musayyib, dan begitu pula para mukhodhrom.
Mukhodhrom (المخضرم) : orang yang hidup pada zaman jahiliyyah dan islam, akan tetapi ia tidak pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman. Misalnya : seseorang masuk islam pada zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia tidak pernah bertemu rasulullah karena jauhnya jarak atau udzur yang lain. Atau seseorang yang hidup sezaman dengan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia belum masuk islam melainkan setelah wafatnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Thobaqot ketiga : thobaqot pertengahan dari tabi’in (الطبقة الوسطى من التابعين), seperti al-hasan (al-bashri, pent) dan ibnu sirin, dan mereka adalah (berada pada) thobaqot yang meriwayatkan dari sejumlah shahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Thobaqot keempat : tabi’in kecil (صغار التابعين), mereka merupakan thobaqot yang sesudah thobaqot yang sebelumnya (thobaqot ke-3, pent). Kebanyakan riwayat mereka adalah dari kibar tabi’in (thobaqot ke-1, pent). Rowi yang dalam thobaqot ini contohnya adalah az-zuhri dan qotadah.
5. Thobaqot kelima : thobaqot yang paling kecil dari tabi’in (الطبقة الصغرى من التابعين), mereka adalah yang lebih kecil dari yang thobaqot-thobaqot tabi’in yang sebelumnya. Dan mereka adalah termasuk tabi’in, mereka melihat seorang atau beberapa orang shahabat. Contoh thobaqot ini adalah musa bin ‘uqbah dan al-a’masy.
6. Thobaqot keenam : thobaqot yang sezaman dengan thobaqot ke-5 (عاصروا الخامسة), akan tetapi tidak tetap khobar bahwa mereka pernah bertemu seorang shahabat seperti ibnu juraij.
7. Thobaqot ketujuh : thobaqot kibar tabi’ut tabi’in (كبار أتباع التابعين), seperti malik dan ats-tsauri.
8. Thobaqot kedelapan : thobaqot tabi’u tabi’in pertengahan (الوسطى من أتباع التابعين), seperti ibnu ‘uyainah dan ibnu ‘ulaiyyah.
9. Thobaqot kesembilan : thobaqot yang paling kecil dari tabi’ut tabi’in (الصغرى من أتباع التابعين), seperti yazid bin harun, asy-syafi’i, abu dawud ath-thoyalisi, dan abdurrozzaq.
10. Thobaqot kesepuluh : thobaqot tertinggi yang mengambil hadits dari tabi’ut taabi’in (كبار الاخذين عن تبع الاتباع) yang mereka tidak bertemu dengan tabi’in, seperti ahmad bin hanbal.
11. Thobaqot kesebelas : thobaqot pertengahan dari rowi yang mengambil hadits dari tabi’ut tabi’in (الوسطى من الاخذين عن تبع الاتباع), seperti adz-dzuhli dan al-bukhori.
12. Thobaqot keduabelas : thobaqot yang rendah dari rowi yang mengambil hadits dari tabi’ut tabi’in (صغار الاخذين عن تبع الاتباع), seperti at-tirmidzi dan para imam yang enam lainnya yang tertinggal sedikit dari wafatnya para tabi’ut tabi’in, seperti sebagian para syaikh-nya an-nasa’i[1].
Definisi umum hadits dari nabi
Ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan ( taqrir ) dan sifat-sifat beliau. Taqrir adalah perkataan atau perbuatan sahabat yang terjadi di hadapan nabi atau nabi mendapat kabar, kemudian nabi diam, tersenyum, tertawa, atau langsung berbicara untuk memujinya, sebagai tanda setuju sahabat ialah orang yang bertemu rosulullah saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dan dalam keadaan islam dan beriman. Tabi’in ialah orang yang bertemu para sahabat atau generasi yang mengikuti (setelah) para sahabat tabi’ut tabi’in ialah orang yang bertemu para tabi’in atau generasi yang mengikuti (setelah) para tabi’in sunnah ialah jalan atau tuntunan sesuai dengan sabda nabi muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang dimaksudkan sebagai syariat islam. Bid’ah adalah lawan dari sunnah , m enurut syari'at ialah apa-apa yang diadakan oleh manusia baik perkataan maupun perbuatan di dalam agama dan syiar-syiarnya tidak ada keterangan dari rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang  mana maksud mengerjakannya adalah untuk ibadah (mengharapkan kebaikan atau pahala) . Perhatian : berbeda dengan istilah sunnah yang digunakan dalam istilah fikih , yaitu segala sesuatu yang sudah tetap dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu (boleh dikerjakan mendapatkan pahala, jika ditinggalkan tidak mengapa)[2].
      sahabat tabi’in tabi’ut tabi’in perawi perawi pengumpul hadits wahyu dari Alloh Nabi Muhammad
Hadits ditinjau dari tingkatan perawi (pengumpul hadits) Bukhori (lahir 194 – wafat 256 h) Muslim (204 – 261 h) setiap hadits yang diriwayatkan oleh salah satu dari mereka, maka bisa dipastikan dan disepakati bahwa hadits tersebut adalah shahih oleh karena itu kitabnya disebut shahih Bukhori atau shahih Muslim , jika keduanya meriwayatkan hadits yang sama matannya seringkali disebut mutafaqun ‘alaih hukum meriwayatkan hadits dari keduanya : mutlak boleh diamalkan dan tidak ada keraguan untuk menyebarluaskannya. Abu Dawud (202 – 275 h) an-Nasai’ (215 – 303 h) tirmidzi (209 – 279 h) Ibnu Majah (209 – 273 h) keempat perawi ini seringkali disebut sunan Abu Dawud, sunan an-Nasa’i, sunan Tirmidzi, dan sunan Ibnu Majah . Jika suatu hadits diriwayatkan oleh ke-empat perawi ini disebut ashabus sunan . Hukum meriwayatkan hadits dari keduanya : boleh diamalkan jika hadits yang diriwayatkan oleh mereka berderajat shahih atau hasan, jika haditsnya memiliki derajat dhaif atau maudhu maka tidak boleh diamalkan. Ke-enam orang perawi ini memiliki tingkatan yang paling tinggi , karena sangat sedikitnya hadits dengan derajat dhaif atau maudhu yang tercatat dalam kitab-kitab mereka , sehingga mereka seringkali disebut kuttubu sittah (kitab hadits induk yang enam)
Hadits ditinjau dari tingkatan perawi (pengumpul hadits) selain dari ke-enam tingkatan perawi yang paling tinggi, masih banyak lagi perawi-perawi lain dibawah tingkatan mereka, yaitu seperti : 7. Ahmad (164 – 241 h) Malik (93 – 176 h) asy-Syafi’i (150 – 204 h) Hakim (321 – 405 h) Baihaqi (384 – 458 h) Daruquthni (306 – 385 h) Khuzaimah (223 – 311 h) thabrani dan lain-lain hukum meriwayatkan hadits dari mereka : boleh diamalkan jika hadits yang diriwayatkan oleh mereka berderajat shahih atau hasan, jika haditsnya memiliki derajat dhaif atau maudhu maka tidak boleh diamalkan. Riwayat hadits dari tingkatan 3-6 dan apalagi tingkatan ke-7 dan seterusnya harus dilakukan penelitian dan seleksi terhadap derajat hadits tersebut, jika sudah jelas kedudukannya baru dapat diamalkan atau bahkan ditinggalkan (dilarang untuk diamalkan). Perhatian : banyak kaum muslim yang belum mengetahui tingkatan perawi ini berikut derajat haditsnya, sehingga jika sudah ada kalimat “rasululloh bersabda” dan ada nama perawinya langsung dianggap sebagai hadits yang boleh diamalkan dan disebarluaskan.
Penyeleksian hadits yang dilakukan oleh para peneliti periwayat hadits mungkin timbul pertanyaan, mengapa ‘ulama-ulama besar seperti imam asy-syafi’i, imam malik, atau imam ahmad ‘lebih rendah’ tingkatan derajat hadits dalam kitab-kitab mereka, dibanding dengan imam bukhari ataupun imam muslim, yang notabene adalah murid-muridnya ? Dijawab oleh para ‘ulama, karena mereka disibukkan dalam mengumpulkan hadits yang masih tersebar dan perhatian mereka yang tinggi dalam ilmu fiqih, serta kesibukan mereka membantah para ahlu bid’ah yang pada masa mereka mulai bermunculan. Tetapi mereka tetap mengisyaratkan bahwa jika terdapat hadits yang berderajat dhaif maupun maudhu dalam kitab mereka, maka hendaklah ditinggalkan. Orang yang melakukan penyeleksian hadits-hadits yang dikumpulkan oleh mereka adalah para ‘ulama hidup setelah masa mereka hingga hari kiamat nanti. Diantaranya : Ibnul Jauzi abad ke-6 hijriah (508 – 597 h) an-Nawawi abad ke-7 hijriah (631 – 676 h) Ibnu Taimiyah abab ke-8 hijriah (661 – 728 h) adz-Dzahabi abad ke-8 hijriah (wafat 748 h) ibnu Hajar al-Asqolani abad ke-9 hijriah (773 – 852 h) as-Suyuthi abad ke-10 hijriah (849 – 911 h) asy-Syaukani abad ke-12 hijriah (1173 – 1251 h) ahmad Syakir abad ke-13 hijriah (wafat 1377 h) Muhammad Nashiruddin al-Albani abad ke-14 hijriah (1333 – 1420 h) selebihnya masih banyak lagi para penyeleksi hadits yang memilki keahlian dan hafal hadits, yang disebut muhadits , yang belum kami sebutkan. Metode penyeleksian hadits dari abad ke abad makin lama semakin lebih baik bahkan saling melengkapi dan menguatkan, karena semakin berkembangnya teknik dan kelengkapan kitab yang tersedia.
Rawi hadits – pengumpul hadits matan – isi teks hadits sanad – sandaran penyampai hadits komponen hadits al-hadits
Hadits ditinjau dari derajat (kedudukan) klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah : hadits shohih adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat (penyakit) dan tidak janggal  boleh diamalkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya  boleh diamalkan hadits dhaif (lemah) adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan  tidak boleh diamalkan hadits maudhu (palsu) adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka bangsakan ( katakan sabda nabi saw ) secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak tidak boleh diamalkan hadits la aslalahu (tidak ada sumbernya) adalah hadits yang tidak diketahui dari mana asalnya, tidak terdapat sanad serta perawinya yang bisa untuk diteliti  sangat tidak boleh diamalkan
Gambaran hadits (jika diriwayatkan oleh bukhari & muslim) quot;artinya : aisyah berkata. 'Telah bersabda rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : “barangsiapa yang mengada-adakan suatu perbuatan dalam agama kita ini, yang sama sekali tidak ada sumbernya, maka perbuatan itu ditolak quot; . [hadits riwayat bukhari 2/166 dan muslim 5/132] keterangan : 1. Aisyah ini disebut  sanad (sahabat wanita) 2. “barangsiapa yang mengada-adakan suatu perbuatan dalam agama kita ini, yang sama sekali tidak ada sumbernya, maka perbuatan itu ditolak“ matan 3. Riwayat bukhari 2/166, muslim 5/132, Abu Daud no.4606, Ibnu Majah no.14, baihaqi 10/119 à riwayat atau perawi karena hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, maka hadits ini shahih
Gambaran penomoran index hadits [riwayat bukhari 2/166, muslim 5/132, abu daud no.4606, ibnu majah no.14] terdapat dalam kitab shahih bukhori jilid 2 halaman 166 terdapat dalam kitab shahih muslim jilid 5 halaman 132 terdapat dalam kitab sunan abu dawud dengan nomor hadits 4606 terdapat dalam kitab sunan ibnu majah dengan nomor hadits 14 dari jilid kitab, halaman, serta nomor hadits inilah kita dapat mengecek dan memeriksa kembali apakah memang benar hadits tersebut ada, jika kita membaca suatu hadits tetapi tidak ada penomoran seperti di atas, maka sudah selayaknya kita sangsi
Gambaran penyeleksian hadits (jika tidak diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim) dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwasanya rasulullah saw bersabda : "artinya : “barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan susah, maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang quot; . hadits riwayat sunan at-tirmidzi 12/274. Dishahihkan oleh adz-Dzahabi 1/544. Dan di hasankan oleh al-albani no. 2693 ]. Keterangan : 1. Abu Hurairah ini disebut sanad (sahabat) 2. “barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan susah, maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang“ matan 3. Riwayat at-Tirmidzi 12/274  riwayat atau perawi 4. Dishahihkan oleh adz-Dzahabi dan al-Albani  penyeleksi hadits, dan dinyatakan derajat hadits ini shahih oleh adz-Dzahabi dan Hasan oleh al-Albani  berarti boleh diamalkan
Gambaran hadits yang tidak jelas asal usulnya (tidak diketahui siapa yang meriwayatkan) 1. “ doa malaikat jibril menjelang ramadhan : "ya allah tolong abaikan puasa umat muhammad, apabila sebelum memasuki bulan ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut : a. Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada) ; b. Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri ; b. Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. Maka rasulullah pun mengatakan amiin sebanyak 3 kali .” […….?] 2. “ berikut ini salah satu amalan malam nisfu sya’ban : selepas sholat magrib kita sholat sunat nisfu sya’ban 2 rokaat: rakaat pertama : baca surah al fatehah dan surah al qodar 1 x rokaat kedua : baca al fatehah dan surah al ikhlas 3 x selepas sholat nisfu sya’ban membaca surah yasin 3 kali : setelah baca yassin yang pertama : kita mohon pada allah diperpanjang umurnya setelah baca yassin yang kedua : kita mohon pada allah diberi rizki banyak & halal setelah baca yassin yang ketiga : kita mohon pada allah dikuatkan iman dan islamnya dan mati dalam khusnul khotimah ” [……….??]
Gambaran hadits yang tidak jelas asal usulnya (tidak diketahui siapa yang meriwayatkan) 3. quot;jangan kalian melalaikan jum'at pertama pada bulan rajab. Karena sesungguhnya didalamnya terdapat malam yang dinamakan malaikat dengan malam raghaib.“ [……….??] Keterangan terhadap ke-3 hadits diatas : 1. Tidak diketahui siapa sanad sahabat sanad majhul (tidak diketahui) 2. Matannya tidak sesuai dengan hadits shahih, bertentangan atau aneh susunannya 3. Tidak diketahui pe-rawinya riwayat majhul (tidak diketahui) 4. Tidak dapat dilakukan penyeleksian hadits haram / tidak boleh diamalkan

B.     Pembukuan Kitab-Kitab Hadis Ditinjau Dari Zaman Dan Periodenya
     Kitab-kitab hadis sesuai dengan zaman dan periodenya masing-msing, di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Abad ke 2 H
1)   Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
2)   Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (150 – 204 H / 767 – 820 M)
3)   Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi’i
4)   Al Jami’ oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani
5)   Mushannaf Syu’bah oleh Syu’bah bin Hajjaj (82 – 160 H / 701 – 776 M)
6)   Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (107 – 190 H / 725 – 814M)
7)   Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa’ad (94 – 175 / 713 – 792 M)
8)   As Sunan Al Auza’i oleh Al Auza’i (88 – 157 / 707 – 773 M)
9)   As Sunan Al Humaidi (219 H / 834 M)
.
b. Abad ke 3 H
1)       Al Jami’ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2)       Al Jami’ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
3)       As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
4)       As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
5)       As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
6)       As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
7)       As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
.

c. Abad ke 4 H
1)        Al Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2)        Al Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3)        Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H/873-952 M)
4)        Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
5)        Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
6)        At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7)        As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8)        Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
9)        As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
10)    Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
11)    Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
.
d. Abad ke 5 H dan selanjutnya
Hasil penghimpunan.
Bersumber dari kutubus sittah saja: Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M), Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (1084 M).
Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M).
Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M).
 .
Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
1)   Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M).
2)   As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M).
3)   Al Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id (625-702 H / 1228-1302 M).
4)   Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (1254 M).
5)   Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M).
6)   Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M).
7)   Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M).
 .
Kitab Al Hadits Akhlaq.
1)   At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
2)   Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
3)   Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadits).
4)   Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H   / 1371-1448 M).
5)   Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M).
6)   Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M).
7)   Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M).
8)   Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M).

C. Pengaruh Thobaqot dalam Hadis, Sehinnga Timbulnya  Klasifikasi-klasifikasi Hadis
                  Pengaruh Thobaqot sangat berpengaruh terhadap hadis, Karena tinjauan daripada thobaqot adalah bagaiamana ia melihat beberapa rentetan periwayatan yang dimulai dari para sahabat sampai pada zaman pembukuan daripad hadis itu sendiri. Dan itu memberikan dampak yang signifikan terhadap hadis. Dan itu menimbulkan adanya klasifikasi-klasifikasi hadis diantaranya adalah sebagai berikut :.
-          Hadis Shahih

Pengertian Hadis Shahih dan kriterianya. Seperti diketahui, hadis bila ditinjau dari segi kualitasnya terbagi kedalam tiga kategori: Shahih, hasan, dan dhaif. Kata Shahih dari segi Bahasa adalah lawan ari sakit, sedangkan Hadis Shahih sendiri dari segi terminology bermacam-macam ulama menta’rifkannya diantaranya :

Ta’rif Ibn ‘Alwi al-Maliki al-Hasani :

“Hadis yang bersambung sanadnya yang diperoleh dari perawi yang adil, yang dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) tidak tergolong syadz dan tidak pula ber-I’lat lagi tercela maka semua hal tersebut merupakan syarat-syarat Hadis Shahih.

Sementara Abu Amr ibn ash-Shalah menta’rifkannya dengan

Hadis Shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).

Ta’rif Imam Nawawiy, Imam Nawawiy meringkas defenisi ibn Ash-Shalah

Hadis Shahih adalah hadis yang muttashil sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz dan ‘illat.


Dari beberapa ta’rif hadis Shahih diatas sepertinya secara esensial mempunyai maksud yang sama hanya saja pada ta’rif Hadis Shahih tersebut adalah sekaligus menjadi syarat (kriteria) Hadis Shahih, bila dilihat secara teliti dari ta’rif tersebut ternyata ada lima kriteria yang bisa diperpegangi untuk melihat sesuatu hadis itu apakah dapat dikatakan hadis Shahih atau tidak dan kelima kriteria tersebut adalah :

a. Sanadnya tidak terputus (muttashil).

b. Perawinya bersifat adil.

c. Sempurna ingatan (dhabit)

d. Tidak Syadz (janggal)

e. Hadis itu tidak ber’illat (cacat).

-          Hadis Hasan

Pengertian dan Kriteria Hadis Hasan. Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.. sedangkan Hadis Hasan menurut istilah ulama berbeda pendapat diantaranya Ibnu Hajar mendefenisikannya :

“Khabar Ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa ber’illat dan syaz disebut Hadis Shahih, namun hal kekuatan ingatannya kurang kokoh sempurna desebut Hasan Lizatihi.

At-Turmuzi mendefenisikannya sebagai berikut :

Tiap-tiap Hadis yang pada sanadnya tiada terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tiada kejanggalan dan Hadis itu diriwayatkan tidak dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang padanya.”


-          Hadis Dhoif
Pengertian dan Kriteria Hadis Dha’if. kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-Qowiy, yang berarti lemah, Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak dan tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum. Adapun beberapa ulama mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut :

Imam Abi Amar Ibnu Shalah mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut :

“setiap Hadis –Hadis yang tidak terdapat padanya sifat Hadis Shahih dan tidak pula sifat-sifat Hadis Hasan maka dia disebut Hadis Dha’if.”


-          Hadis Mursal adalah :

“Hadis yang dimarfu’kan (diangkat) oleh seorang tabi’i kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda, perbuatan dan taqrir, baik itu Tabi’i kecil ataupun besar.”

Defenisi sseperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadis, hanya mereka tidak memberikan batasan antara tabi’i kecil dan besar. Namun ada juga sebgaian ulama hadis yang memberikan batasan Hadis Mursal ini hanya di marfu’kan kepada tabi’i besar saja karena periwayatan tabi’i besar adalah sahabat dan Hadis yang dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadis Munqoti’.

Dalam istilah ilmu Hadis, Hadis Mursal ini diungkapkan secara bahasa adalah isim maf’ul dari arsala yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan dan membebaskan. Secara istilah Hadis Mursal adalah :

“Hadis Mursal adalah Hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah tabi’i.

Maksud dari defenisi diatas dapat dipaham bahwa seorang tabi’i mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi’i tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’i tersbut menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’i.

-          Hadis Mudallas

kata mudallas adalah ism maf’ul darii dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengan gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas diarikan dengan :

Bahwa meriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya dari nya karena kesamaran mendengarkannya”.

                  Mungkin itu sedkit gambaran dari klasifikasi hadis yang sempat penulis paparkan.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Menurut kamus bahasa, arti thabaqat adalah sekelompok orang yang hidup semasa atau dalam zaman yang berbeda namun mempunyai kapasitas-kualitas yang sama secara keilmuan, keahlian, atau profesinya. Menurut istilah ilmu hadis, thabaqat ialah kelompok orang yang semasa, sepantaran usianya, sama dalam periwayatan hadis atau dalam menerima hadis dari guru-gurunya.

2.      Kitab-kitab hadis sesuai dengan zaman dan periodenya masing-msing, di antaranya adalah sebagai berikut :
1)   Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
2)   Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (150 – 204 H / 767 – 820 M)
3)   Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi’i
4)   Al Jami’ oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani

3.   Pengaruh Thobaqot sangat berpengaruh terhadap hadis, Karena tinjauan daripada thobaqot adalah bagaiamana ia melihat beberapa rentetan periwayatan yang dimulai dari para sahabat sampai pada zaman pembukuan daripad hadis itu sendiri. Dan itu memberikan dampak yang signifikan terhadap hadis

B.     Saran

Demikianlah penyusunan makalah yang semapat disusun oleh penulis dengan harapan untaian saran dan kritikan sesame penimba ilmu ditujukan kepada penulis sebagai proses penyempurnaan penulisan-penulisan berikutnya, Karen penulis sadar akan ketidaksempurnaan makalah tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon. 2009.Ulumul Hadis.Jakarta: Amzah.
Fatchur Rahman.1970. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis.Bandung: Al Ma’arif.
Pokja Akademik.2005. Al-Hadis, Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
R. Subhi As-Shalih. 1993. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abdul Hakim bin Amir Abdat, Pustaka Darul Qolam, Cet.I, Jakarta 1427 H/2006 Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari'at Islam ,
Yazid Abdul Qadir Jawas, hal.31-32, terbitan Pustaka Al-Kautsar. Ensiklopedia Islam Indonesia , oleh Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah



[1] al-Maktabah asy-Syamilah v.2
[2] 4)Al-Tabaqat Al- Kubra, vol. 6, hal. 168; Taqyid Al-‘Ilm, hal. 89,90; Kanz Al-‘Ummal,vol. 10, hal. 156; Rabi’Al-Abrar, vol. 3, hal. 294.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar