BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Melihat kondisi
zaman hari ini, dimana ilmu-ilmu agama kini mulai direnggut dengan ilmu-ilmu
saintik yang harus dan kesemuanya harus ilmiah, jika tidak maka ia tidak akan
dikatan sebagai ilmu, tapi pengetahuan. Inilah kelemahan kita hari sebagai umat
islam yang seanantiasa mengikuti arus apa yang diinginkan oleh orang-orang yang
ingin menghancurkan islam baik secara internal maupun secaraeksternal dengan
propaganda yang mereka lakukan.
Perkembangan
ilmu-ilmu dalam islam itu kini saatnya untuk kita kembangkan bersama agar apa
yang pernah dikatakan oleh rasulullah saw bahwa islam akan kembali meraih
kejayaannya kembali. Dan itu bisa terwujud ketika kita sadar akan pentingnya
yng namanya ilmu. Karen dengan ilmu hala-hal apa yang menjadi keinginan dan
harapan itu bisa terwujudkan.
Dengan adanya
dasar dari itu, penulis mencoba membahas suatu tema kajian tematik dalam ilmu
hadis yakni tingkatan-tingkatan perawi dan pengaruhnya didalam hadis itu
sendiri. Karena dengan adanya tingkatan-tingkatan para kaum orientalisme
menghantam ilmu-ilmu hadis dan didalam islam itu sendiri terjadi yang namanya
ingkar sunnah. Hal ini menjadi lagi kemunduran-kemunduran islam. Dan kita juga
mengenal kitab-kitab hadis yang begetu banya ada shohih bukhari, shohih muslim,
sunan dawud, sunan ad-tirmidzi, sunan ibnu madjah, dll, yang dimana mereka
berbeda dalam melihat para perawi-perawi tersebut. Misalnya imam bukhari dalam
melihat perawi, ia memeberikan syarat yakni perawi tersebut harus adil, dhabit,
dan siqhot. Begitu pula dengan imam hadis yang lainnya.
Dalam bahasan
ini, penulis memcoba memberukan pandandan terhadap thobaqot dalam makalah ini,
dengan harapan ada proses penambahan wacana kita dalam memahami hadis yang
secara mendalam. Karena melihat kondisi tersebut, sehingga banyakanya timbul
pemalsuan-pemalsuan hadis yang dipaksakan sampai ke sandaran nab muhammad saw.
Ini juga merupakan tepisan-tepisan untuk membela dan tetap membentengi sunnah
rasulullah saw.
B.
Rumusan Masalah
Adanya
permasalahan-permasalahan yang terjadi hari ini, dan komplit-komlpit yang ada
dalam islam. Terjadinya hal yang seperti itu tak lain dan tak bukan dari
interpretasi kita terhadap sebuh permasalahan. Dengan adanya hal itu, rumusan
masalah yang kemudian penulis angkat adalah sebagai berikut :
1.
Apa
defenisi daripada thobaqot dan tingkatan-tingkatannya serta tokoh-tokohnya ?
2.
Pembukuan
kitab-kitab hadis ditinjau dari zaman dan periodenya ?
3.
Pengaruh
thobaqot dalam hadis, sehinnga adanya klasifikasi-klasifikasi hadis?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
menambah khazanah intelektual kita terhadap ilmu hadis
2.
Menemabah
pehaman kita terhadap ilmu-ilmu yang terkait hadis
3.
Mencobaah
menelaah atas phenomena-penomena terhadap kaum-kaum yang mencoba mmeberikan
pandangannya terhadap agama islam
4.
Khazanah
intelektual kita harus ini dibangun dengan membudidayakan kembali budaya-budaya
membaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi Daripada Thobaqot Dan Tingkatan-Tingkatannya Serta
Tokoh-Tokohnya
Dalam kajian tentang perawi, kita harus
mengetahui segala hal yang berkaitan dengan orang-orang yang berkecimpung dalam
dunia periwayatan (bukan persilatan lho-red). Mulai dari nama lengkapnya,
julukannya, nama panggilannya, tempat tanggal lahir maupun wafatnya, tempat
domisilinya, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya (rihlah), guru-gurunya,
maupun thabaqat-nya.
Dalam kesempatan ini, kita hendak membahas tentang thabaqat ar-ruwat (tingkatan para perawi hadis). Menurut kamus bahasa, arti thabaqat adalah sekelompok orang yang hidup semasa atau dalam zaman yang berbeda namun mempunyai kapasitas-kualitas yang sama secara keilmuan, keahlian, atau profesinya. Menurut istilah ilmu hadis, thabaqat ialah kelompok orang yang semasa, sepantaran usianya, sama dalam periwayatan hadis atau dalam menerima hadis dari guru-gurunya.
Dalam kesempatan ini, kita hendak membahas tentang thabaqat ar-ruwat (tingkatan para perawi hadis). Menurut kamus bahasa, arti thabaqat adalah sekelompok orang yang hidup semasa atau dalam zaman yang berbeda namun mempunyai kapasitas-kualitas yang sama secara keilmuan, keahlian, atau profesinya. Menurut istilah ilmu hadis, thabaqat ialah kelompok orang yang semasa, sepantaran usianya, sama dalam periwayatan hadis atau dalam menerima hadis dari guru-gurunya.
Tingkatan-tingkatan thobaqot yang ada dalam ilmu-ilmu hadis itu terbagi
atas beberapa bagian diantaranya :
1. Thobaqot yang pertama : para shahabat (الصحابة)
2.
Thobaqot yang kedua : thobaqot kibar tabi’in (كبار
التابعين), seperti sa’id bin al-musayyib, dan begitu pula para
mukhodhrom.
Mukhodhrom (المخضرم) : orang yang hidup pada zaman jahiliyyah dan islam, akan tetapi ia tidak pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman. Misalnya : seseorang masuk islam pada zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia tidak pernah bertemu rasulullah karena jauhnya jarak atau udzur yang lain. Atau seseorang yang hidup sezaman dengan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia belum masuk islam melainkan setelah wafatnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mukhodhrom (المخضرم) : orang yang hidup pada zaman jahiliyyah dan islam, akan tetapi ia tidak pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman. Misalnya : seseorang masuk islam pada zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia tidak pernah bertemu rasulullah karena jauhnya jarak atau udzur yang lain. Atau seseorang yang hidup sezaman dengan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia belum masuk islam melainkan setelah wafatnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3.
Thobaqot ketiga : thobaqot pertengahan dari tabi’in (الطبقة
الوسطى من التابعين), seperti al-hasan (al-bashri, pent) dan
ibnu sirin, dan mereka adalah (berada pada) thobaqot yang meriwayatkan dari
sejumlah shahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4.
Thobaqot keempat : tabi’in kecil (صغار التابعين),
mereka merupakan thobaqot yang sesudah thobaqot yang sebelumnya (thobaqot ke-3,
pent). Kebanyakan riwayat mereka adalah dari kibar tabi’in (thobaqot ke-1,
pent). Rowi yang dalam thobaqot ini contohnya adalah az-zuhri dan qotadah.
5.
Thobaqot kelima : thobaqot yang paling kecil dari tabi’in (الطبقة الصغرى من التابعين), mereka adalah yang lebih kecil dari yang
thobaqot-thobaqot tabi’in yang sebelumnya. Dan mereka adalah termasuk tabi’in,
mereka melihat seorang atau beberapa orang shahabat. Contoh thobaqot ini adalah
musa bin ‘uqbah dan al-a’masy.
6.
Thobaqot keenam : thobaqot yang sezaman dengan thobaqot ke-5 (عاصروا الخامسة), akan tetapi tidak tetap khobar bahwa
mereka pernah bertemu seorang shahabat seperti ibnu juraij.
7.
Thobaqot ketujuh : thobaqot kibar tabi’ut tabi’in (كبار
أتباع التابعين), seperti malik dan ats-tsauri.
8.
Thobaqot kedelapan : thobaqot tabi’u tabi’in pertengahan (الوسطى من أتباع التابعين), seperti ibnu ‘uyainah dan ibnu
‘ulaiyyah.
9.
Thobaqot kesembilan : thobaqot yang paling kecil dari tabi’ut tabi’in (الصغرى من أتباع التابعين), seperti yazid bin
harun, asy-syafi’i, abu dawud ath-thoyalisi, dan abdurrozzaq.
10.
Thobaqot kesepuluh : thobaqot tertinggi yang mengambil hadits dari tabi’ut
taabi’in (كبار الاخذين عن تبع الاتباع)
yang mereka tidak bertemu dengan tabi’in, seperti ahmad bin hanbal.
11.
Thobaqot kesebelas : thobaqot pertengahan dari rowi yang mengambil hadits dari
tabi’ut tabi’in (الوسطى من الاخذين عن تبع الاتباع),
seperti adz-dzuhli dan al-bukhori.
12.
Thobaqot keduabelas : thobaqot yang rendah dari rowi yang mengambil hadits dari
tabi’ut tabi’in (صغار الاخذين عن تبع الاتباع),
seperti at-tirmidzi dan para imam yang enam lainnya yang tertinggal sedikit
dari wafatnya para tabi’ut tabi’in, seperti sebagian para syaikh-nya an-nasa’i[1].
Definisi umum
hadits dari nabi
Ialah sesuatu
yang disandarkan kepada nabi muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan ( taqrir ) dan sifat-sifat beliau. Taqrir adalah perkataan atau
perbuatan sahabat yang terjadi di hadapan nabi atau nabi mendapat kabar,
kemudian nabi diam, tersenyum, tertawa, atau langsung berbicara untuk
memujinya, sebagai tanda setuju sahabat ialah orang yang bertemu rosulullah saw
dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dan dalam keadaan islam
dan beriman. Tabi’in ialah orang yang bertemu para sahabat atau generasi yang
mengikuti (setelah) para sahabat tabi’ut tabi’in ialah orang yang bertemu para
tabi’in atau generasi yang mengikuti (setelah) para tabi’in sunnah ialah jalan
atau tuntunan sesuai dengan sabda nabi muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
yang dimaksudkan sebagai syariat islam. Bid’ah adalah lawan dari sunnah , m
enurut syari'at ialah apa-apa yang diadakan oleh manusia baik perkataan maupun
perbuatan di dalam agama dan syiar-syiarnya tidak ada keterangan dari
rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang mana
maksud mengerjakannya adalah untuk ibadah (mengharapkan kebaikan atau pahala) .
Perhatian : berbeda dengan istilah sunnah yang digunakan dalam istilah fikih ,
yaitu segala sesuatu yang sudah tetap dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan hukumnya tidak fardhu (boleh dikerjakan mendapatkan pahala, jika
ditinggalkan tidak mengapa)[2].
sahabat
tabi’in tabi’ut tabi’in perawi perawi pengumpul hadits wahyu dari Alloh Nabi
Muhammad
Hadits ditinjau
dari tingkatan perawi (pengumpul hadits) Bukhori (lahir 194 – wafat 256 h) Muslim
(204 – 261 h) setiap hadits yang diriwayatkan oleh salah satu dari mereka, maka
bisa dipastikan dan disepakati bahwa hadits tersebut adalah shahih oleh karena
itu kitabnya disebut shahih Bukhori atau shahih Muslim , jika keduanya
meriwayatkan hadits yang sama matannya seringkali disebut mutafaqun ‘alaih
hukum meriwayatkan hadits dari keduanya : mutlak boleh diamalkan dan tidak ada
keraguan untuk menyebarluaskannya. Abu Dawud (202 – 275 h) an-Nasai’ (215 – 303
h) tirmidzi (209 – 279 h) Ibnu Majah (209 – 273 h) keempat perawi ini
seringkali disebut sunan Abu Dawud, sunan an-Nasa’i, sunan Tirmidzi, dan sunan Ibnu
Majah . Jika suatu hadits diriwayatkan oleh ke-empat perawi ini disebut ashabus
sunan . Hukum meriwayatkan hadits dari keduanya : boleh diamalkan jika hadits
yang diriwayatkan oleh mereka berderajat shahih atau hasan, jika haditsnya
memiliki derajat dhaif atau maudhu maka tidak boleh diamalkan. Ke-enam orang
perawi ini memiliki tingkatan yang paling tinggi , karena sangat sedikitnya
hadits dengan derajat dhaif atau maudhu yang tercatat dalam kitab-kitab mereka
, sehingga mereka seringkali disebut kuttubu sittah (kitab hadits induk yang
enam)
Hadits
ditinjau dari tingkatan perawi (pengumpul hadits) selain dari ke-enam tingkatan
perawi yang paling tinggi, masih banyak lagi perawi-perawi lain dibawah
tingkatan mereka, yaitu seperti : 7. Ahmad (164 – 241 h) Malik (93 – 176 h)
asy-Syafi’i (150 – 204 h) Hakim (321 – 405 h) Baihaqi (384 – 458 h) Daruquthni (306
– 385 h) Khuzaimah (223 – 311 h) thabrani dan lain-lain hukum meriwayatkan
hadits dari mereka : boleh diamalkan jika hadits yang diriwayatkan oleh mereka
berderajat shahih atau hasan, jika haditsnya memiliki derajat dhaif atau maudhu
maka tidak boleh diamalkan. Riwayat hadits dari tingkatan 3-6 dan apalagi
tingkatan ke-7 dan seterusnya harus dilakukan penelitian dan seleksi terhadap
derajat hadits tersebut, jika sudah jelas kedudukannya baru dapat diamalkan
atau bahkan ditinggalkan (dilarang untuk diamalkan). Perhatian : banyak kaum
muslim yang belum mengetahui tingkatan perawi ini berikut derajat haditsnya,
sehingga jika sudah ada kalimat “rasululloh bersabda” dan ada nama perawinya
langsung dianggap sebagai hadits yang boleh diamalkan dan disebarluaskan.
Penyeleksian
hadits yang dilakukan oleh para peneliti periwayat hadits mungkin timbul
pertanyaan, mengapa ‘ulama-ulama besar seperti imam asy-syafi’i, imam malik,
atau imam ahmad ‘lebih rendah’ tingkatan derajat hadits dalam kitab-kitab
mereka, dibanding dengan imam bukhari ataupun imam muslim, yang notabene adalah
murid-muridnya ? Dijawab oleh para ‘ulama, karena mereka disibukkan dalam
mengumpulkan hadits yang masih tersebar dan perhatian mereka yang tinggi dalam
ilmu fiqih, serta kesibukan mereka membantah para ahlu bid’ah yang pada masa
mereka mulai bermunculan. Tetapi mereka tetap mengisyaratkan bahwa jika
terdapat hadits yang berderajat dhaif maupun maudhu dalam kitab mereka, maka
hendaklah ditinggalkan. Orang yang melakukan penyeleksian hadits-hadits yang
dikumpulkan oleh mereka adalah para ‘ulama hidup setelah masa mereka hingga
hari kiamat nanti. Diantaranya : Ibnul Jauzi abad ke-6 hijriah (508 – 597 h) an-Nawawi
abad ke-7 hijriah (631 – 676 h) Ibnu Taimiyah abab ke-8 hijriah (661 – 728 h)
adz-Dzahabi abad ke-8 hijriah (wafat 748 h) ibnu Hajar al-Asqolani abad ke-9
hijriah (773 – 852 h) as-Suyuthi abad ke-10 hijriah (849 – 911 h) asy-Syaukani abad
ke-12 hijriah (1173 – 1251 h) ahmad Syakir abad ke-13 hijriah (wafat 1377 h) Muhammad
Nashiruddin al-Albani abad ke-14 hijriah (1333 – 1420 h) selebihnya masih
banyak lagi para penyeleksi hadits yang memilki keahlian dan hafal hadits, yang
disebut muhadits , yang belum kami sebutkan. Metode penyeleksian hadits dari
abad ke abad makin lama semakin lebih baik bahkan saling melengkapi dan
menguatkan, karena semakin berkembangnya teknik dan kelengkapan kitab yang
tersedia.
Rawi hadits –
pengumpul hadits matan – isi teks hadits sanad – sandaran penyampai hadits
komponen hadits al-hadits
Hadits
ditinjau dari derajat (kedudukan) klasifikasi hadits menurut dapat (diterima)
atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah : hadits shohih
adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung, tidak ber illat (penyakit) dan tidak janggal boleh diamalkan hadits hasan adalah hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada
matannya boleh diamalkan hadits dhaif
(lemah) adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan tidak
boleh diamalkan hadits maudhu (palsu) adalah hadits yang dicipta serta dibuat
oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka bangsakan ( katakan sabda nabi
saw ) secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak tidak boleh
diamalkan hadits la aslalahu (tidak ada sumbernya) adalah hadits yang tidak
diketahui dari mana asalnya, tidak terdapat sanad serta perawinya yang bisa
untuk diteliti sangat tidak boleh
diamalkan
Gambaran
hadits (jika diriwayatkan oleh bukhari & muslim) quot;artinya : aisyah
berkata. 'Telah bersabda rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
“barangsiapa yang mengada-adakan suatu perbuatan dalam agama kita ini, yang
sama sekali tidak ada sumbernya, maka perbuatan itu ditolak quot; . [hadits
riwayat bukhari 2/166 dan muslim 5/132] keterangan : 1. Aisyah ini disebut sanad (sahabat wanita) 2. “barangsiapa yang
mengada-adakan suatu perbuatan dalam agama kita ini, yang sama sekali tidak ada
sumbernya, maka perbuatan itu ditolak“ matan 3. Riwayat bukhari 2/166, muslim
5/132, Abu Daud no.4606, Ibnu Majah no.14, baihaqi 10/119 à riwayat
atau perawi karena hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, maka hadits
ini shahih
Gambaran
penomoran index hadits [riwayat bukhari 2/166, muslim 5/132, abu daud no.4606,
ibnu majah no.14] terdapat dalam kitab shahih bukhori jilid 2 halaman 166
terdapat dalam kitab shahih muslim jilid 5 halaman 132 terdapat dalam kitab
sunan abu dawud dengan nomor hadits 4606 terdapat dalam kitab sunan ibnu majah
dengan nomor hadits 14 dari jilid kitab, halaman, serta nomor hadits inilah
kita dapat mengecek dan memeriksa kembali apakah memang benar hadits tersebut
ada, jika kita membaca suatu hadits tetapi tidak ada penomoran seperti di atas,
maka sudah selayaknya kita sangsi
Gambaran
penyeleksian hadits (jika tidak diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim) dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwasanya rasulullah saw bersabda :
"artinya : “barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan
susah, maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang quot; . hadits
riwayat sunan at-tirmidzi 12/274. Dishahihkan oleh adz-Dzahabi 1/544. Dan di
hasankan oleh al-albani no. 2693 ]. Keterangan : 1. Abu Hurairah ini disebut
sanad (sahabat) 2. “barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan
susah, maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang“ matan 3. Riwayat
at-Tirmidzi 12/274 riwayat atau perawi
4. Dishahihkan oleh adz-Dzahabi dan al-Albani
penyeleksi hadits, dan dinyatakan derajat hadits ini shahih oleh adz-Dzahabi
dan Hasan oleh al-Albani berarti boleh
diamalkan
Gambaran
hadits yang tidak jelas asal usulnya (tidak diketahui siapa yang meriwayatkan)
1. “ doa malaikat jibril menjelang ramadhan : "ya allah tolong abaikan
puasa umat muhammad, apabila sebelum memasuki bulan ramadhan dia tidak
melakukan hal-hal yang berikut : a. Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada
kedua orang tuanya (jika masih ada) ; b. Tidak bermaafan terlebih dahulu antara
suami istri ; b. Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Maka rasulullah pun mengatakan amiin sebanyak 3 kali .” […….?] 2. “ berikut ini
salah satu amalan malam nisfu sya’ban : selepas sholat magrib kita sholat sunat
nisfu sya’ban 2 rokaat: rakaat pertama : baca surah al fatehah dan surah al
qodar 1 x rokaat kedua : baca al fatehah dan surah al ikhlas 3 x selepas sholat
nisfu sya’ban membaca surah yasin 3 kali : setelah baca yassin yang pertama :
kita mohon pada allah diperpanjang umurnya setelah baca yassin yang kedua :
kita mohon pada allah diberi rizki banyak & halal setelah baca yassin yang
ketiga : kita mohon pada allah dikuatkan iman dan islamnya dan mati dalam
khusnul khotimah ” [……….??]
Gambaran
hadits yang tidak jelas asal usulnya (tidak diketahui siapa yang meriwayatkan)
3. quot;jangan kalian melalaikan jum'at pertama pada bulan rajab. Karena
sesungguhnya didalamnya terdapat malam yang dinamakan malaikat dengan malam
raghaib.“ [……….??] Keterangan terhadap ke-3 hadits diatas : 1. Tidak diketahui
siapa sanad sahabat sanad majhul (tidak diketahui) 2. Matannya tidak sesuai
dengan hadits shahih, bertentangan atau aneh susunannya 3. Tidak diketahui
pe-rawinya riwayat majhul (tidak diketahui) 4. Tidak dapat dilakukan
penyeleksian hadits haram / tidak boleh diamalkan
B.
Pembukuan
Kitab-Kitab Hadis Ditinjau Dari Zaman Dan Periodenya
Kitab-kitab hadis sesuai dengan zaman dan periodenya masing-msing, di
antaranya adalah sebagai berikut :
a.
Abad ke 2 H
1) Al
Muwaththa oleh Malik bin Anas
2) Al
Musnad oleh Ahmad bin Hambal (150 – 204 H / 767 – 820 M)
3) Mukhtaliful
Hadits oleh As Syafi’i
4) Al
Jami’ oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani
5) Mushannaf
Syu’bah oleh Syu’bah bin Hajjaj (82 – 160 H / 701 – 776 M)
6) Mushannaf
Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (107 – 190 H / 725 – 814M)
7) Mushannaf
Al Laist oleh Al Laist bin Sa’ad (94 – 175 / 713 – 792 M)
8) As
Sunan Al Auza’i oleh Al Auza’i (88 – 157 / 707 – 773 M)
9) As
Sunan Al Humaidi (219 H / 834 M)
.
b.
Abad ke 3 H
1) Al
Jami’ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2) Al
Jami’ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
3) As
Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
4) As
Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
5) As
Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
6) As
Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
7) As
Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
.
c.
Abad ke 4 H
1) Al
Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2) Al
Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3) Al
Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H/873-952 M)
4) Al
Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
5) Ash
Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
6) At
Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7) As
Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8) Al
Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
9) As
Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
10) Al
Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
11) Al
Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
.
d.
Abad ke 5 H dan selanjutnya
Hasil
penghimpunan.
Bersumber
dari kutubus sittah saja: Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H /
1160-1233 M), Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (1084 M).
Bersumber
dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu Katsir
(706-774 H / 1302-1373 M).
Bersumber
dari selain kutubus sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H /
1445-1505 M).
.
Kitab
Al Hadits Hukum, diantaranya :
1) Sunan
oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M).
2) As
Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M).
3) Al
Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id (625-702 H / 1228-1302 M).
4) Muntaqal
Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (1254 M).
5) Bulughul
Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M).
6) Umdatul
Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M).
7) Al
Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M).
.
Kitab
Al Hadits Akhlaq.
1) At
Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
2) Riyadhus
Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
3) Syarah
(semacam tafsir untuk Al Hadits).
4) Untuk
Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M).
5) Untuk
Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H /
1233-1277 M).
6) Untuk
Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M).
7) Untuk
Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834
M).
8) Untuk
Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M).
C.
Pengaruh Thobaqot dalam Hadis, Sehinnga Timbulnya Klasifikasi-klasifikasi Hadis
Pengaruh
Thobaqot sangat berpengaruh terhadap hadis, Karena tinjauan daripada thobaqot
adalah bagaiamana ia melihat beberapa rentetan periwayatan yang dimulai dari
para sahabat sampai pada zaman pembukuan daripad hadis itu sendiri. Dan itu
memberikan dampak yang signifikan terhadap hadis. Dan itu menimbulkan adanya
klasifikasi-klasifikasi hadis diantaranya adalah sebagai berikut :.
-
Hadis
Shahih
Pengertian
Hadis Shahih dan kriterianya. Seperti diketahui, hadis bila ditinjau dari segi
kualitasnya terbagi kedalam tiga kategori: Shahih, hasan, dan dhaif. Kata
Shahih dari segi Bahasa adalah lawan ari sakit, sedangkan Hadis Shahih sendiri
dari segi terminology bermacam-macam ulama menta’rifkannya diantaranya :
Ta’rif Ibn ‘Alwi al-Maliki al-Hasani
:
“Hadis yang bersambung sanadnya yang
diperoleh dari perawi yang adil, yang dhabit, yang diterimanya dari perawi yang
sama (kualitasnya) tidak tergolong syadz dan tidak pula ber-I’lat lagi tercela maka
semua hal tersebut merupakan syarat-syarat Hadis Shahih.
Sementara Abu Amr ibn ash-Shalah
menta’rifkannya dengan
Hadis Shahih adalah musnad yang
sanadnya muttashil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang
yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal
(terkena ‘illat).
Ta’rif Imam Nawawiy, Imam Nawawiy
meringkas defenisi ibn Ash-Shalah
Hadis Shahih adalah hadis yang
muttashil sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa
syadz dan ‘illat.
Dari
beberapa ta’rif hadis Shahih diatas sepertinya secara esensial mempunyai maksud
yang sama hanya saja pada ta’rif Hadis Shahih tersebut adalah sekaligus menjadi
syarat (kriteria) Hadis Shahih, bila dilihat secara teliti dari ta’rif tersebut
ternyata ada lima kriteria yang bisa diperpegangi untuk melihat sesuatu hadis
itu apakah dapat dikatakan hadis Shahih atau tidak dan kelima kriteria tersebut
adalah :
a. Sanadnya tidak terputus
(muttashil).
b. Perawinya bersifat adil.
c. Sempurna ingatan (dhabit)
d. Tidak Syadz (janggal)
e. Hadis itu tidak ber’illat
(cacat).
-
Hadis
Hasan
Pengertian dan Kriteria Hadis Hasan.
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu..
sedangkan Hadis Hasan menurut istilah ulama berbeda pendapat diantaranya Ibnu
Hajar mendefenisikannya :
“Khabar Ahad yang dinukilkan melalui
perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa
ber’illat dan syaz disebut Hadis Shahih, namun hal kekuatan ingatannya kurang
kokoh sempurna desebut Hasan Lizatihi.
At-Turmuzi mendefenisikannya sebagai
berikut :
Tiap-tiap
Hadis yang pada sanadnya tiada terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada
matannya tiada kejanggalan dan Hadis itu diriwayatkan tidak dengan satu jalan
(mempunyai banyak jalan) yang padanya.”
-
Hadis
Dhoif
Pengertian
dan Kriteria Hadis Dha’if. kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari
al-Qowiy, yang berarti lemah, Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis
yang diolak dan tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu
hukum. Adapun beberapa ulama mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut :
Imam Abi Amar Ibnu Shalah
mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut :
“setiap Hadis –Hadis yang tidak
terdapat padanya sifat Hadis Shahih dan tidak pula sifat-sifat Hadis Hasan maka
dia disebut Hadis Dha’if.”
-
Hadis
Mursal adalah :
“Hadis yang dimarfu’kan (diangkat)
oleh seorang tabi’i kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda, perbuatan dan
taqrir, baik itu Tabi’i kecil ataupun besar.”
Defenisi
sseperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadis, hanya mereka tidak
memberikan batasan antara tabi’i kecil dan besar. Namun ada juga sebgaian ulama
hadis yang memberikan batasan Hadis Mursal ini hanya di marfu’kan kepada tabi’i
besar saja karena periwayatan tabi’i besar adalah sahabat dan Hadis yang
dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadis Munqoti’.
Dalam
istilah ilmu Hadis, Hadis Mursal ini diungkapkan secara bahasa adalah isim
maf’ul dari arsala yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan dan membebaskan.
Secara istilah Hadis Mursal adalah :
“Hadis Mursal adalah Hadis yang
gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah tabi’i.
Maksud
dari defenisi diatas dapat dipaham bahwa seorang tabi’i mengatakan Rasulullah
saw berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi’i tersebut jelas tidak
bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’i tersbut menghilangkan
sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’i.
-
Hadis
Mudallas
kata
mudallas adalah ism maf’ul darii dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengan
gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas diarikan dengan :
Bahwa
meriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia tidak
pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak
mendengarnya dari nya karena kesamaran mendengarkannya”.
Mungkin itu sedkit gambaran
dari klasifikasi hadis yang sempat penulis paparkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Menurut kamus
bahasa, arti thabaqat adalah sekelompok orang yang hidup semasa atau dalam
zaman yang berbeda namun mempunyai kapasitas-kualitas yang sama secara
keilmuan, keahlian, atau profesinya. Menurut istilah ilmu hadis, thabaqat ialah
kelompok orang yang semasa, sepantaran usianya, sama dalam periwayatan hadis
atau dalam menerima hadis dari guru-gurunya.
2. Kitab-kitab
hadis sesuai dengan zaman dan periodenya masing-msing, di antaranya adalah
sebagai berikut :
1) Al Muwaththa oleh Malik bin
Anas
2) Al Musnad oleh
Ahmad bin Hambal (150 – 204 H / 767 – 820 M)
3) Mukhtaliful
Hadits oleh As Syafi’i
4) Al Jami’ oleh
Abdurrazzaq Ash Shan’ani
3. Pengaruh Thobaqot sangat
berpengaruh terhadap hadis, Karena tinjauan daripada thobaqot adalah bagaiamana
ia melihat beberapa rentetan periwayatan yang dimulai dari para sahabat sampai
pada zaman pembukuan daripad hadis itu sendiri. Dan itu memberikan dampak yang
signifikan terhadap hadis
B.
Saran
Demikianlah
penyusunan makalah yang semapat disusun oleh penulis dengan harapan untaian
saran dan kritikan sesame penimba ilmu ditujukan kepada penulis sebagai proses
penyempurnaan penulisan-penulisan berikutnya, Karen penulis sadar akan
ketidaksempurnaan makalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Majid Khon. 2009.Ulumul Hadis.Jakarta:
Amzah.
Fatchur Rahman.1970. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis.Bandung: Al
Ma’arif.
Pokja
Akademik.2005. Al-Hadis, Yogyakarta:Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga.
R.
Subhi As-Shalih. 1993. Membahas Ilmu-ilmu
Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abdul Hakim bin
Amir Abdat, Pustaka Darul Qolam, Cet.I, Jakarta 1427 H/2006 Kedudukan
As-Sunnah Dalam Syari'at Islam ,
Yazid Abdul
Qadir Jawas, hal.31-32, terbitan Pustaka Al-Kautsar. Ensiklopedia Islam
Indonesia , oleh Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar