Senin, 14 Januari 2013

Hadis Sosisal dan Hukum (Hadis al-Arba'in an-Nawawy No.14)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Menjunjung tinggi akan nilai-nilai dan kandungan apa yang menjadi sebuah ajaran dalam agama, bagi seorang pengukutnya tntunya sudah menjadi keniscayaan untuk diikuti dan ditaati. Karena itu, sudah menjadi sebuah konsekuensi logis
Dalam ajaran Islam kitadilrang untuk mengikuti sesuatu tanpa kita memilki pengetahuan akan sesuatu itu. Inilah yang menjadi alasan bagi kami dalam penyusunan makalah ini untuk dijadikan sebagai bahan acuan dalam menjalankan apa yang menjadi perintah dalam ajaran Islam.
Adapun pedoman-pedoman dalam Islam yakni al-Quran dan al-Hadis. Kedua pedoman ini dia tidak berpisah penjelasan akan al-Quran terkadang terdapat dalam hadisyakni ayat-ayat yang bersifat universal dalam artian bahwa penjabaran akan sebuah hukum biasanya terdapat dlam hadis, begitu pula sebaliknya.
Hadis juga merupakan penuturan dari perkataan, perbuatan dan taqriri dari Nabi saw. Olehnya itu ita sebagai penganut islam yang kemudian meyakini akan hadis harus mengikuti dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalammakalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bunyi Hadis ar-Ba’in al-Nawawy ke-14.
2.      Bagaiman Syarah dari hadis tersebut.
3.      Bagaiman penjelasan dari hadis tersebut.
4.      Apa hikmah dari hadis itu.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadis Arba’in al-Nawawy ke 14
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya”.(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Takhrij hadis:
Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak halal darah seseorang muslim yang telah bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku sebagai utusan Allah, kecuali  disebabkan salah satu di antara tiga hal:  ats tsayyib az zaaniy (orang yang sudah nikah/janda/duda yang berzina), jiwa dengan jiwa (membunuh), meninggalkan agamanya adalah  orang yang memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Takhrij Hadits:
-            Imam Al Bukhari dalam Shahihnya No. 6878
-            Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1676
-            Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 4352
-            Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 1402
-            Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 4016
-            Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2534
-            Imam Ad Daruquthni dalam As Sunannya No. 3134
-            Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 4407
-            Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 3621
-            Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya No.  5202
-            Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 1539
-            Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 5331, dan As Sunanul Kubra No. 194, 202, 213
-            Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah No. 60, 893
-            Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 14/270
-            Imam ‘Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 18704
-            Imam Al Humaidy dalam Musnadnya No. 119
-            Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Aatsar,  3/160-161, juga Syarh Musykilul Aatsar, 2/321
-            Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 2517
-            Imam Abu ‘Uwanah dalam Al Mustakhraj No. 4984  sampai  4989Wallahu A’lam
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1.      Tidak boleh menumpahkan darah kaum muslimin kecuali dengan tiga sebab, yaitu : zina muhshon (orang yang sudah menikah), membunuh manusia dengan sengaja dan meninggalkan agamanya (murtad) berpisah dari jamaah kaum muslimin.
2.      Islam sangat menjaga kehormatan, nyawa dan agama dengan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang mengganggunya seperti dengan melakukan zina, pembunuhan dan murtad.
3.      Sesungguhnya agama yang disepakati adalah yang dipegang oleh jamaah kaum muslimin, maka wajib dijaga dan tidak boleh keluar darinya.
4.      Hukum pidana dalam Islam sangat keras, hal itu bertujuan untuk mencegah (preventif) dan melindungi.
5.      Pendidikan bagi masyarakat untuk takut kepada Allah ta’ala dan selalu merasa terawasi oleh-Nya dan keadaan tersembunyi atau terbuka sebelum dilaksanakannya hukuman.
6.      Hadits diatas menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan dan kesucian.
7.      Dalam hadits tersebut merupakan ancaman bagi siapa yang membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah ta’ala.
B.     Syarah Hadis
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ : Tidak halal darah seseorang muslim
      Yakni haram darah seorang muslim untuk ditumpahkan  (dibunuh). Hal ini sesuai hadits:
 إِنَّ دِمَاءَكَمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاَضَكُمْ عَليْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian (untuk diganggu).”(HR. Bukhari No. 105 dan Muslim no. 1679)
Para ulama  memaknainya “tidak halal darah seseorang muslim” sebagai keharaman membunuh seorang muslim. Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:
 "لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ" أي لا يحل قتله،وفسّرناها بذلك لأن هذا هو المعروف في اللغة العربية
Tidak halal darah seseorang muslim” yaitu tidal halal membunuhnya, kami menafsirkannya demikian karena  itu sudah dikenal (ma’ruf) dalam bahasa Arab. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 158)
 Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan pula:
لا يحل دم امريء : لا تجوز إراقة دمه . والمراد النهي عن قتله ولو لم يرق دمه .
 Tidak halal darah seseorang artinya tidak boleh menumpahkan darahnya.Maksudnya adalah larangan   membunuhnya, walaupun darahnya tidak tumpah.(At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits ke 14)
 Muslim di sini adalah siapa saja yang mengucapkan dua kalimat syahadat secara sadar dan ridha.Maka, mereka terjaga jiwanya dan kita pun dilarang menyakitinya.
Selanjutnya:
إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ:kecuali karena satu di antara tiga hal
Yakni jika salah satunya terjadi, atau dua, apalagi semuanya, maka mereka boleh ditumpahkan darahnya karena tiga keadaan tersebut.
Syaikh Muhammad bin Ismail Al Anshari menjelaskan kenapa tiga hal ini jika dilakukan, maka pelakunya wajib dibunuh:

خصال يجب على الإمام القتل بها لما فيه من المصلحة العامة ،وهي حفظ النفوس والأنساب والدين
“Perbuatan yang dengannya wajib bagi imam untuk membunuh/memeranginya, karena di dalamnya terdapat maslahat yang luas, yaitu penjagaan terhadap jiwa, nasab, dan agama.(At Tuhfah, Syarah No. 14)
 Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:
وهؤلاء الثلاثة مباحو الدم بالنص
“Dan ketiga hal ini merupakan alasan kemubahan ditumpahkannya darah berdasarkan nash.”
maksudnya: tidak halal menyengaja bermaksud untuk membunuh kecuali tiga hal ini. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 65. Maktabah Misykah)
 Selanjutnya:
   الثَّيِّبُ الزَّانِيْ : orang yang sudah menikah, atau janda, atau duda yang berzina
 Yaitu zina muhshan.Dan telah disepakati (ijma’) bahwa pelakunya mesti di rajam sampai wafat.
 Imam Abul ‘Abbas Al Qurthubi Rahimahullah menjelaskan:
 Ats Tsayyib di sini adalah Al Muhshan. Itu adalah nama jenis yang termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan. Ini adalah hujjah atas apa-apa yang telah disepakati kaum muslimin, di antara hukuman bagi pelaku zina muhshan adalah rajam.  (Al Mufhim, 15/119)
Berkata Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah:
Sabdanya (orang yang sudah menikah, atau janda, atau duda yang berzina) mengisyaratkan kepada apa-apa yang telah disepakati kaum muslimin berupa rajam.(Ikmal Al Mu’allim, 5/247. Lihat juga Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 66)
Ada pun untuk gadis atau perjaka yang berzina (ghairu muhshan) juga telah ijma’ bahwa mereka didera/cambuk seratus kali.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
Para fuqaha telah sepakat bahwa gadis merdeka, jika dia berzina maka dia dihukum jilid (cambuk/dera) seratus kali, sama saja baik laki-laki dan perempuan, karena Allah Ta’ala berfirman:  “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. An Nuur (24): 2) (Fiqhus Sunnah, 2/406)
Inilah hukum-hukum Allah Ta’ala yang terkait dengan pelaku zina. Segenap umat Islam wajib mentaatinya, dan wajib dijalankan oleh pemimpin kaum muslimin, namun sayang hukum-hukum ini hanya berserekan dalam kitab-kitab para ulama, tanpa ada  negeri muslim yang menjalankannya.
Lalu:
 وَالنَّفْسُ بِالنَّفْس: dan jiwa dengan jiwa
Yaitu seseorang yang membunuh orang lain, maka pelakunya mesti dihukum mati. Itupun setelah mendapatkan vonis dari mahkamah syariah yang membuktikan dan dieksekusi oleh Negara.
Allah swt berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al Baqarah (2): 178)
Berkata Syaikh ‘Utsaimin: “Rahimahullah:Jiwa dengan jiwa” maksudnya adalah qishash, yaitu seseorang manusia membunuh manusia secara sengaja maka dia juga dibunuh dengan syarat-syarat yang sudah diketahui. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 158)
 Namun jika pembunuhan terjadi secara tidak sengaja, maka tidaklah diqishash. Allah Ta’ala berfirman:
 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً
 Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).     (QS. An Nisa (4): 92)
 Tetapi, si pembunuh tidak sengaja ini juga harus melaksanakan kafaratnya sebagaimana pada kelanjutan ayat ini, yaitu:
a.       Memerdekan seorang budak yang beriman, dan memberikan diyat (ganti rugi) kepada keluarga si mayat, kecuali jika keluarganya membebaskannya dan menganggap seekah buat si pembunuh.
b.      jika yang dibunuh adalah kafir dzimmi maka diyat tersebut diberika kepada keluarganya, dan juga membebaskan seorang budak yang mukmin.
c.       Jika membebaskan budak dan membayar diyat tidak mampu, maka mesti berpuasa dua bulan berturut-turut.
 Di sini kita memahami, bahwa kafir dzimmi tidak boleh dibunuh, jika dibunuh secara tidak sengaja maka pelakunya wajib melakukan kifarat seperti tersebut di atas.
Selanjutnya:
  وَالتَّاركُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ للجمَاعَةِdan orang yang meninggalkan agamanya adalah  orang yang memisahkan diri dari jamaah
Yaitu orang yang murtad. Dan, murtad merupakan kriminalitas tertinggi sehingga pelakunya  dibunuh.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
“Ini adalah secara umum, pada setiap orang yang murtad dari Islam dalam keadaan apa pun dia, maka wajib membunuhnya jika dia tidak kembali kepada Islam. Ulama mengatakan: ini juga berlaku untuk semua yang keluar dari jamaah (kaum muslimin) berupa melakukan bid’ah, berontak, atau selain keduanya, begitu juga kaum khawarij. Wallahu A’lam”(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/87. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Al ‘Allamah Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan juga:
 “Meninggalkan agamanya” yakni dengan itu dia murtad dengan segala macam bentuk riddah (kemurtadan). Sabdanya “memisahkan diri dari jamaah” , ini merupakan sambungan penjelasannya, yakni bahwa orang yang meninggalkan agamanya adalah orang yang memisahkan diri dari jamaah, dia keluar darinya. (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 158)

C.    Penjelasan Hadis
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa darah kaum muslimin terhormat, diharamkan, dan tidak halal ditumpahkan, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara:
1.      Orang yang sudah menikah berzina, yakni orang yang telah menikah kemudian berzina, setelah Allah karuniakan kepadanya pernikahan.
Orang ini dihalalkan karena hukum hadnya adalah dirajam (dilempari batu sampai mati).
2.      Jiwa dibalas jiwa.
Ini adalah Hukum Qishas. Berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Al Baqarah: 178).
3.      Orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan dari jama’ah, yang dimaksud adalah orang-orang yang keluar dari (memberontak) imam (pemerintah), maka orang seperti ini boleh dibunuh sampai ia kembali dan bertaubat kepada Allah.
Dan ada beberapa perkara lainnya yang tidak disebut dalam hadits ini yang juga menghalalkan darah seorang muslim, akan tetapi perkataan Rasulullah sebagiannya menghimpun sebagian yang lainnya, dan sebagiannya melengkapi sebagian yang lainnya.
Hadits  ini mengajarkan bahwa seorang yang sudah menjadi muslim telah terpelihara dan terjaga darahnya, yakni nyawanya. Mereka menjadi terhormat karena keislamannya. Telah menjadi ijma’ bahwa haram hukumnya seorang muslim dibunuh tanpa hak, bahkan jika  sengaja melakukannya, termasuk pelaku dosa besar dengan ancaman neraka, bahkan kekal di dalamnya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
 dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. An Nisa (4): 93)
Dari beberapa sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah Radhial, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر
“Mencela seorang muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah kufur.”(HR. Bukhari)
Ada tiga sebab menurut hadits di atas seseorang muslim boleh diperangi. Maka, jika tiga sebab ini terjadi, walau hanya salah satunya maka dia berhak ditumpahkan darahnya. Namun, hal tersebut mesti dilakukan setelah mendapat vonis dari mahkamah syariah secara meyakinkan dan  yang mengeksekusi adalah negara. Seorang individu sangat tidak dibenarkan main hakim sendiri.
 Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari:
Kemudian jika terjadi sesuatu dari tiga hal ini, maka bukanlah seseorang dari rakyat yang membunuhnya, sesungguhnya hal itu adalah tugas imam atau wakilnya.(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/373)
 Ketiga hal tersebut adalah:
a.       Seorang yang sudah nikah, atau janda, atau duda, yang berzina.
b.      Seorang yang membunuh manusia lain secara tidak hak.
c.       Orang yang meninggalkan agama dan jamaahnya (murtad).
 Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah menjelaskan:
kecuali  disebabkan salah satu di antara tiga hal : yaitu perbuatan yang dengannya  membuat imam (pemimpin) wajib memeranginya karena di dalamnya terkandung kemaslahatan umum, yakni menjaga jiwa, menjaga nasab, dan agama.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 14)
Sebenarnya ada sebab lain selain tiga di atas, seseorang boleh diperangi  sebagai mana tertera dalam beberapa hadits, ketetapan para fuqaha, dan kenyataan pelaksanaan syariah pada masa awal Islam, yakni setelah adanya keputusan Negara dan dieksekusi pula oleh Negara. Hal-hal tersebut  seperti menolak zakat, meninggalkan shalat wajib (menurut  Ahmad dan Asy Syafi’i), memperolok-olok Allah, RasulNya, dan Al Quran, bahkan sebagian tabi’in juga memasukkan para pencela sahabat nabi sebagai kelompok yang boleh diperangi, para pengaku nabi baru, pelaku liwath (homo seks), muslim yang memata-matai kaum muslimin sendiri, dan lain-lain.
Hadits ini menegaskan kembali ketinggian nilai seorang muslim. Oleh karenanya, setiap muslim mesti memperhatikan perilakunya terhadap saudaranya. Jangan sampai menyakitinya, baik perasaan, fisik, dan hartanya, baik dilakukan lisan, tulisan, dan tangan.Semuanya adalah perbuatan terlarang secara pasti.
Secara tersirat (mafhum mukhalafah) menunjukkan bahwa orang kafir (non muslim) tidaklah terjaga darahnya, kecuali jika mereka termasuk kafir mu’aahad, kafir dzimmi, dan kafir musta’man.
a.      Kafir Mu’aahad
Adalah mereka adalah orang-orang yang berdamai dengan imam kaum muslimin untuk tidak berperang dalam waktu yang telah diketahui (disepakati) untuk kemasalahatan.Al Mu’ahad diambil dari kata Al ‘Ahdu (janji) yaitu shulhu (perjanjian damai) yang telah ditentukan, dan dinamakan hudnah (gencatan senjata), juga dinamakan Al Muhaadanah, Al Mu’aahadah (agreement), Al Musaalamah (perdamaian), dan Al Muwaada’ah. (Fathul Qadir, 4/293. Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181. Al Kharasyi, 3/175. Fathul ‘Ali, 1/333. Asy Syarhul Ad Dardir, 2/190.Al Qawaanin Al Fiqhiyah, Hal. 154. Mughni Al Muhtaj, 4/260. Al Umm, 4/110.Nihayah Al Muhtaj, 7/235, Kasysyaf Al Qina’, 3/103. Al Mughni, 4/459-461. Zaadul Ma’ad, 2/76. Al Muharrar fil Fiqhil Hambaliy, 2/182. Al Ikhtiyarat, Hal. 188)
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin juga mengatakan:
Al Mu’ahad adalah siapa saja yang antara kita dan dia ada perjanjian, sebagaimana yang berlangsung antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum Quraisy di Hudaibiyah. (Syaikh Al ‘Utsaimin, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 159. Mawqi’ Ruh Al Islam)
b.      Kafir dzimmi atau ahli dzimmah
AdalahAhlu Az Dzimmah  adalah orang-orang kafir yang menetapkan kekafirannya di Negara Islam dengan menjalankan kewajiban membayar jizyah dan dilaksanakannya syariat Islam pada mereka. (Jawahirul Iklil, 1/105. Kasysyaf Al Qina’, 1/704)
c.       Kafir Musta’man
Adalah:Al Musta’man pada dasarnya: orang yang meminta keamanan, yaitu orang kafir yang masuk ke Negara Islam dengan aman, atau seorang muslim jika masuk ke nagara kafir dengan aman. (Durar Al Hikam, 1/262. Hasyiah Abi Su’ud, 3/440. Ad Durul Mukhtar, 3/247)
ketiga kelompok kuffar inilah yang terlindungi darahnya, selama status mereka belum berubah. Kapankah status mereka berubah? Para ulama mengatakan:
 يُصْبِحُ الذِّمِّيُّ وَالْمُعَاهَدُ وَالْمُسْتَأْمَنُ فِي حُكْمِ الْحَرْبِيِّ بِاللَّحَاقِ بِاخْتِيَارِهِ بِدَارِ الْحَرْبِ مُقِيمًا فِيهَا ، أَوْ إِذَا نَقَضَ عَهْدَ ذِمَّتِهِ فَيَحِل دَمُهُ وَمَالُهُ
Kafir Dzimmi, Mu’aahad, dan Musta’man akan dihukumi menjadi  kafir harbi , saat dia memiliih bermukim di Negara perang (darul harbi), atau jika dia membatalkan perjanjiannya maka halal darah dan hartanya.(Ad Durul Mukhtar, 3/275, 303. Asy Syarhush Shagir, 2/316. Mughni Al Muhtaj, 258-262. Al Mughni, 8/458)

D.    Hikmah Hadis
      Hadits ini mengandung beberapa faedah, di antaranya adalah:
1.      Penghormatanterhadap seorang muslim.
Bahwa darah seorang muslim adalah terlindungi, berdasarkan sabdanya, “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara.”.
2.      Darah seorang muslim halal dengan tiga perkara ini.
3.      Orang yang sudah menikah berzina.
Yakni orang yang berzina setelah Allah karuniakan kepadanya pernikahan yang sah, kemudian berhubungan badan dengan istrinya, kemudian ia berzina setelah itu, maka ia dihukum rajam sampai mati.
4.      “Jiwa dibalas dengan jiwa.”
Yakni jika ia membunuh seseorang dan lengkap sudah syarat-syarat qishasnya, maka ia dibunuh dengan sebab itu. Berdasarkan dengan firman Allah subhanahu wata’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Al Baqarah: 178). Dan firmanNya,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ
“Dan kami telah menetapkan kepada mereka di dalamnya, bahwa nyawa dibalas dengan nyawa.” (Al Maa’idah: 45).
5.      “Orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah.”
Yang dimaksud adalah orang yang murtad. Jika seseorang murtad dari agama Islam, maka darahnya dihalalkan, karena dengan itu ia menjadi seseorang yang tidak lagi terlindung darahnya.
6.      Wajibnya hukum rajam bagi pezina (yang sudah menikah),
berdasarkan sabdanya, “Orang yang menikah berzina.”
7.      Bolehnya qishas tetapi seseorang
yakni orang yang berhak untuk mengqishas bisa memilih antara mengqishas atau memaafkannya dengan membayar diat atau memaafkannya sama sekali (tanpa membayar diat).
8.      Wajib membunuh orang yang murtad, jika dia tidak bertaubat.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya”.(Riwayat Bukhori dan Muslim)
1.      Memerdekan seorang budak yang beriman, dan memberikan diyat (ganti rugi) kepada keluarga si mayat, kecuali jika keluarganya membebaskannya dan menganggap seekah buat si pembunuh.
2.      jika yang dibunuh adalah kafir dzimmi maka diyat tersebut diberika kepada keluarganya, dan juga membebaskan seorang budak yang mukmin.
3.      Jika membebaskan budak dan membayar diyat tidak mampu, maka mesti berpuasa dua bulan berturut-turut

a.       Seorang yang sudah nikah, atau janda, atau duda, yang berzina.
b.      Seorang yang membunuh manusia lain secara tidak hak.
c.       Orang yang meninggalkan agama dan jamaahnya (murtad).

B.     Saran

Demikianlah penyusunan makalah yang semapat disusun oleh penulis dengan harapan untaian saran dan kritikan sesame penimba ilmu ditujukan kepada penulis sebagai proses penyempurnaan penulisan-penulisan berikutnya, Karen penulis sadar akan ketidaksempurnaan makalah tersebut.














DAFTAR PUSTAKA

-                      Riwayat Bukhori dan Muslim
-                      HR. Bukhari No. 105 dan Muslim no. 1679
-                      Fiqhus Sunnah, 2/406
-                      Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar